Rabu, 28 Agustus 2013

Mengenang Lebaran dan Mercon Long

Sebelumnya saya ucapkan dulu selamat Hari Raya Iedul Fitri 1437H  walaupun telat karena Lebaran sudah berlalu hampir sebulan, tapi daripada tidak menyampaikan selamat sama sekali nanti dikira tidak merayakan.  Lagipula masih bulan Syawal ini. Juga baru di akhir bulan Agustus ini akan berlangsung Lebaran Betawi di Monas, jadi minal aidin wal faizin lah.

Seperti saat melalui puasa kemarin, waktu terasa begitu cepat pergerakannya, padahal tetap 24 jam juga hitungannya dalam sehari. Baru tiga minggu berlalu yang terasa kini justru perasaan menunggu datangnya bulan puasa lagi. Ternyata dalam hal puasa menunggu lebih menggairahkan.

Puasa yang sebulan itu seakan singkat berlangsungnya, dan lebaran yang baru kemarin sudah seperti telah lama berbulan-bulan ditinggal, walau demikian tetap saja berkesan mendalam dua peristiwa besar itu karena dinamikanya yang tetap hidup. Bukan saja karena ada tradisi mudik di sana tapi sebagai hari besar keagamaan yang di dalamnya ada tradisi maaf-memaafkan dan janji Tuhan tentang terampuninya segala kesalahan bagi siapapun pasti punya rasa tersendiri dimanapun keberadaannya.

Bagi saya yang telah melewati puluhan tahun lebaran kenangan tentang lebaran pasti tak akan habis diceritakan  dalam sekali duduk sambil moci walau mungkin menghabiskan tiga teko air dan sekantong kresek gula batu. Apalagi lebaran jaman dulu ketika petasan masih beredar bebas, rasanya lebih hidup. Jadi saya tak akan cerita banyak tentang segala kesan mengalami lebaran, apalagi lebaran sekarang yang tak  semeriah jaman masa kanak-kanak dulu.

Satu hal saja yang ingin saya beritakan di sini adalah bahwa lebaran kemarin adik ipar saya yang sudah membeli mercon long (sebutan untuk petasan besar) dari seseorang yang membuatnya tak bisa menyalakannya karena kesulitan mencari tempat yang pas. Dulu petasan sebesar lengan orang dewasa bahkan yang sebesar paha gampang ditemui dan biasanya sehabis sholat Ied ditabuh di halaman mesjid atau di jalanan, kini pemandangan semacam itu sudah tak ada lagi. Maka kemarin mercon besar itu hanya dibawa-bawa kesana kemari.

Sempat akan menyalakan di kuburan saat ziarah, dilarang oleh orang tua. Akhirnya sampai sekarang barang terlarang itu masih disimpan.  Tak terbayang kalau ditabuh di tengah perkampungan yang kini sudah padat, pasti efeknya luar biasa. Sebenarnya penasaran juga ingin merasakan getaran hebat yang walaupun menakutkan tapi mengalaminya benar-benar punya gairah tersendiri. 

Mercon atau petasan memang menyenangkan, tapi telah banyaknya korban jatuh bahkan ada yang sampai meninggal membuat barang menyenangkan itu dilarang peredarannya. Yang ramai kini kembang api, sesuatu yang ternyata tidak menarik bagi orang-orang kampung. Namun, kenyataan yang saya alami itu menunjukkan walau petasan dilarang dan memang berbahaya masih saja menarik. Masih ada orang-orang yang membuatnya walau dalam jumlah sedikit yang kemudian entah di mana menyalakannya. Jangan-jangan cuma buat kangen-kangenan lalu disimpan dilemari seperti yang dilakukan adik ipar saya.




3 komentar:

Fajar mengatakan...

wah kalo tempat saya mercon long ntu mercon yang di bikin pake bambu om.. pake minyak tanah atau karbit.. lalu disulut..

sri wijayanti mengatakan...

Haha ya iya masa mau nyalain mercon pas ziarah?
Bisa bangun tuh yang lain..
hehe..
Minal Aidzin wal Faidzin...
:D

Muhammad A Vip mengatakan...

fajar: yang pake bambu di tempat saya namanya jeblugan
Sriii:siapa yang bangun...?