Selasa, 08 April 2014

Suap Suip Pemilu Pemili



Hari C alias hari coblosan sudah di depan hidung, baunya sudah sangat menyengat. Lokasi TPS (Tempat Pencoblosan Surat suara)pun sudah ditetapkan, petugas sudah tampak sibuk bolak-balik rapat. Dan tak kalah semangat, mereka para  tukang bagi-bagi duit tentu saja—ada yang mendaftari warga lalu diberi janji, ada yang langsung mengundang warga kerumah meminta agar mencoblos si anu lalu pulangnya dibagi duit dan ada yang membaginya di lapangan saat ramai-ramai kampanye lalu.


Soal bagi-bagi duit saya kira semua sudah pada tahu, karena sudah bukan rahasia lagi. Walau politik uang dilarang, tapi praktek suap menyuap kan bukan sesuatu yang baru di masyarakat kita, sudah mendarah daging, bahkan kalau melihat praktek yang ada kini para pejabat di negri ini sepertinya tengah mengupayakan pelegalannya. Lihat saja di saat kampanye pemilu sekarang, mereka para calon atau yang sudah jadi petinggi negara begitu demonstratif di depan kamera wartawan televisi menyuapi warga dengan duit seakan memang harus demikian kalau orang sedang ada keperluan.

Seperti saat long weekend di akhir bulan di kampung, menggantikan mertua yang tak bisa mendatangi undangan acara  mendengarkan caleg ngoceh karena beliau pegawai negri, saya saksikan  para blampakempus itu tak pakai cara dan bahasa orang Jawa lagi, tapi sudah gaya orang Eropa yang terus terang gamblang glondang. Si caleg yang sedang berkompetisi di DPR pusat dan bukan warga setempat hanya datang sesaat di sebuah rumah milik warga, setor wajah dan bagi-bagi contoh surat suara yang ada nama dirinya, minta dicoblos lalu pergi meninggalkan warga yang sudah tidak sabar ingin membuka amplop yang dibagikan oleh pemilik rumah. Dan ternyata, sepuluh ribu rupiah.

Tak bisa disangkal ini jelas praktek suap. Tradisi yang telah hidup mendarah daging di masyarakat kita tapi dikeluhkan ini sepertinya kini telah sampai pada tahap di rayakan. Dulu orang menyuap dengan cara sembunyi-sembunyi, lalu ada masanya malu-malu, kemudian terus terang tapi hanya beberapa orang yang tentu saja menimbulkan gunjingan dan kecaman, dan sekarang sepertinya orang sudah biasa ramai-ramai menyuap maka orang-orang yang biasa menyuap itu pun merasa berhak disuap, beramai-ramai.

Maka bertambah pula kecemasan tentang masa depan, betapa dengan pemilu yang sekarang sepertinya kita tak akan mendapatkan wakil rakyat yang sesuai harapan, secara bersamaan rakyat juga terus menerus dikondisikan pada pola hidup yang menyesatkan. Sesuatu yang jahat memang masih dikecam di mulut, tapi ramai-ramai kita melakukan. Politik uang diarang undang-undang, tapi prakteknya yang gegap gempita terus biarkan.

Tentu saja saat ini rakyat senang dengan banyaknya uang suap yang mereka terima dari mereka yang ingin tercapai hasratnya dengan bantuan orang banyak. Tapi apakah orang banyak itu sadar, bahwa sangat mungkin nanti mereka akan dituntut menyuap pula dengan jumlah uang yang lebih besar jumlahnya saat memerlukan sesuatu yang semestinya bisa didapatkan dengan mudah dan tak perlu mengeluarkan biaya? Tentu saja banyak yang sadar karena mereka telah biasa mengalaminya, buktinya orang-orang kini berlomba-lomba mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan apapun cara, karena tanpa uang tak mungkin bisa menyuap dan hidup pasti akan sulit.

Rasanya sudah yakin saja kini, bahwa memilih para penyuap itu hanya akan membuat masa depan tambah suram. Walaupun sadar diri juga bahwa selama ini tak bisa luput dari tradisi suap, tapi dengan adanya sedikit kesadaran bahwa dengan praktek-praktek merusak yang kini didemonstrasikan itu hari esok akan lebih kelam, memang lebih baik tidak memilih siapapun karena sangat mungkin mereka sama atau kalau harus merasa memilih bisa saja nanti coblos saja semua nama yang ada apapun nama atau partainya.

Lalu bagaimana sebagai orang beragama kini, mengingat agama mengatakan bahwa penyuap dan yang disuap sama-sama berdosa dan bagiannya neraka? Kalau saya mengatasinya dengan tidak menganggap pemberian itu sebagai suap, tapi menganggapnya sebagai uang pemberian biasa dari orang-orang bingung yang tidak tahu harus bagaimana memperlakukan uang. Lalu tentu saja saya tidak akan memilih dirinya, sebab kalau saya memilihnya apapun alasannya karena sudah menerima pemberian sebelumnya jatuhnya suap juga.  Jadi slogan “ambil uangnya jangan pilih orangnya”, menurut saya bisa menghilangkan hakekat suap, walaupun tidak bagi si penyuap karena dia sudah diniati demikian.

Selamat memilih saja dari saya.

6 komentar:

SmuaInfo mengatakan...

semoga pemilunya berjalan dengan baik dan sukses :)

duniaely mengatakan...

selamat nyoblos besok ya mas

Muhammad A Vip mengatakan...

smuainfo: sepertinya baik-baik saja sekarang
mbak ely: sudah mbak

Obat Sakit mengatakan...

ahli agama yang berdakwah saja banyak yang mengalami kasus penipuan di pengobatan, apalagi kita kita

Blogs Of Hariyanto mengatakan...

yang disuap dan yg menyuap sama2 berdosa...semoga saja kita tidak termasuk salah satu diantaranya;...keep happy blogging always..salam dari Makassar :-)

alkatro mengatakan...

pokok e nyo blos ya mas?

ora ngerti parte ne
ora ngerti caleg-e
sing penting aku ...nonton wae :D