Anda pernah membakar sampah? Saya hampir setiap sore
selama di desa melakukannya. Diawali dengan menyapu sampah yang beragam di
pekarangan, mengumpulkannya, lalu membakar sampai benar-benar sesuatu yang
tadinya menggunung berubah menjadi setumpukan kecil abu. Seingat saya sejak SMP
rutinitas menyapu dan membakar sampah telah saya lakukan. Bahkan waktu
awal-awal di Jakarta, tinggal di rumah saudara yang rumahnya berhalaman luas pun
hal itu menjadi kegiatan wajib. Sampai terpikir,
jangan-jangan profesi yang tepat untuk saya adalah jadi petugas kebersihan.
Di Jakarta saya kenal beberapa orang yang berprofesi
sebagai tenaga kebersihan yang bekerja menyapu jalanan ibukota dari pagi sampai
sore bahkan bisa sampai malam. Entah benar atau tidak, dia mengatakan dibayar
Rp. 17000,- sehari dan jika sampai malam mendapat Rp 32000,-. Walau saya
menganggap pekerjaan ini tak begitu berat, tapi rasanya bayaran dengan jumlah
seperti itu tidaklah sepadan. Lalu ada
pula kenalan yang bekerja jadi tukang bakar sampah, untuk yang satu ini bekerja
tidak sampai siang malam karena dia juga bisa berjualan koran pada sore sampai
malam hari. Dan mengenai dua kenalan dengan dua pekerjaan berbeda itu, kesan saya si tukang
bakar sampah lebih bangga dengan pekerjaannya jika dibanding yang setiap hari
meyapu jalan.
Bagi saya menyapu halaman dan membakar sampah adalah
sesuatu yang menyenangkan. Mungkin karena saya orang yang senang dengan kesendirian.
Hanya berteman sapu lidi, tak banyak bicara, khusyu membaca benda-benda yang
ada di depan mata. Cobalah jika ada kesempatan anda melakukannya, saya yakin
ini lebih bermakna daripada duduk ngerumpi apalagi ngobrol tentang hal-hal yang
tak pernah bisa dimengerti.
Saya kira sampah dibakar walau menghasilkan asap yang
oleh beberapa orang dianggap mengganggu, lebih layak dilakukan daripada membuang
berkantong-kantong sampah ke sungai. Cuma ternyata orang lebih memilih membuang
sampah ke sungai daripada membakarnya. Di Jakarta sungai identik dengan sampah,
di desa pun tidak ada bedanya. Sungai-sungai pun menjadi dangakal dan
menyempit. Di Jakarta membuang sampah ke sungai kini kian di persoalkan, di desa sepertinya belum ada yang meributkan. Memang, bagi orang kampung membuang
sampah ke sungai belum dikenali akibat buruknya, sedangkan membakar sampah membuat diri tidak nyaman ketika asapnya
berkeliaran ke rumah-rumah tetangga.
Jadi beruntunglah yang masih punya pekarangan luas. Atau
perlu kiranya diupayakan mulai sekarang, di kampung-kampung atau di tiap-tiap
RT di sedikan lahan khusus untuk menampung sampah dengan tungku bercerobong
untuk bakar sampah. Bagi para remaja tempat penampung sampah bisa jadi tempat
belajar mengolah sampah (adakah remaja yang mau?), tungkunya jadi sarana
pekerjaan salah satu warga yang punya penyakit reumatik (hihi).
6 komentar:
Jadi hobi bersihin sampah nih? terima panggilan ga?
Heiheihe mba Popi ada ada aja. Jadi tukang bakar sampah panggilan donk. Oh ya kira kira berapa tarif bakar sampahnya tuh?
*kaburrrrrrrr
popi: trima Bu. tapi khusus untuk kita berdua ya
asep: khusus bu popi pak. cowo no way
di daerahku sekarang setiap hari rabu dan minggu sampahnya di ambil petugas sampah hehehe jadi jarang ada yang bakar sampah.
kalau saya tidak pernah bakar sampah karena memang tidak ada lahan kosong, perkampungan kami sangat rapat dan padat
saya paling repot kalau tetangga bersamaan pada bakar sampah rasanya seperti bernapas dalam lumpur
Posting Komentar