Ya, lebaran belum berakhir. Sepuluh hari berlalu,
tapi suasana lebaran masih bisa dirasakan. Puncak Mudik sudah berakhir, tapi
beberapa saudara ada yang baru sampai di kampung. Yang Balik apalagi, orang-orang
menggendong ransel masih berjubel di pangkalan-pangkalan bis, di jalan raya
kendaraan pribadi berplat nomor “B” masih ramai.
Ucapan “minal aidin wal faizin” masih terdengar,
acara Halal bi Halal sedang jadi berita, terutama di kalangan para pejabat. Yang
pasti sampai berakhirnya bulan Syawal suasana lebaran masih hidup, walau ada
yang menganggap lebaran hanya berlangsung sepekan.
Bagi yang sudah masuk kerja, sudah diadakan Halal bi
Halal di tempat kerjanya pasti suasana lebaran sudah berasa jauh. Tapi anak-anak
sekolah yang baru akan masuk besok (27.7.2015) suasana lebaran akan hidup lagi
saat kembali berkumpul guru-guru dan murid-murid di halaman sekolah. Seingat saya
ada tradisi bersalam-salaman seluruh guru dan murid seusai upacara bendera.
Dalam pergaulan antar warga di kampung, lebaran
memang sudah mulai dilupakan, tapi bagi kondektur bis lebaran pasti masih
menguasai batok kepala. Seseorang yang baru pulang mudik mengatakan ongkos bis
kelas ekonomi jurusan Jakarta-Tegal masih seratus tiga puluh ribu rupiah, dan
tarip tinggi ini dipastikan akan melambat turun selama suasana Mudik-Balik
masih ramai. Tarip bis kota yang saya tahu pada hari-hari biasa untuk kelas
ekonomi adalah Rp 55.000 untuk Jakarta-Tegal, jadi sudah lumrah angkutan umum
pada musim lebaran menaikkan tarip seenaknya. Tak hanya bis antar kota,
angkutan umum di desa pun pada masa lebaran lazim menaikkan ongkos seenaknya,
biasanya yang jadi alasan adalah THR (setahun sekali lah)
Angkutan umum taripnya naik, harga sembako naik,
tarip parkir naik, tradisi yang bisa dibilang “curang” ini entah mengapa bisa
hidup di tengah-tengah kita orang yang mengaku beragama, tapi begitulah kita
semua suka tidak suka menerimanya seakan sebagai keharusan. Idealnya justru
turun harga-harga, karena pada masa lebaran pembelian sembako naik tinggi,
pengguna jasa angkutan naik berlipat, jadi kalau alasannya THR para konsumen
juga berhak atas THR itu.
Sampai di sini saya jadi ingat—istilah lebaran kalau
di kampung kan disebut “Bada” atau ba’da yang artinya sudah—ada yang mengatakan
karena kebiasaan kita setelah puasa melakukan kebiasaan memuaskan diri tanpa
kendali, maka puasa kita pun sudah selesai alias sia-sia. Jadi bada bisa
berarti sia-sia. Nah loh! (tapi istilah
yang aku pakai Lebaran hehe)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar