Jumat, 19 Mei 2017

Bacalah, Atas Nama Tuhanmu!

Baru beberapa hari berlalu perayaan Hari Buku Nasional yang ke 15 (17 Mei 2017), jadi masih terngiang dengan jelas pernyataan-pernyataan tentang masalah rendahnya minat baca orang Indonesia. Beberapa stasiun televisi menampilkan  acara yang berkaitan dengan ini termasuk mengundang beberapa orang untuk bicara. Dan untuk mengatasi masalah itu, Presiden Jokowi mencanangkan Gerakan Nasional Gemar Membaca. Benarkah kita bangsa yang malas membaca?


Saya sendiri sangat suka membaca dan sejak kecil lebih sering menghabiskan uang untuk bacaan daripada untuk jajan. Dan saya kira orang-orang di sekeliling saya pun selama ini bukan orang-orang yang anti bacaan. Tentu saja kebanyakan dari mereka bukan pembaca yang bisa duduk lama menyimak buku-buku tebal, tapi mereka selalu antusias membaca ketika ada sesuatu yang menarik.  Membaca koran berisi berita sepakbola, dari orang tua sampai anak-anak biasanya berebut.

Tentu saja keprihatinan tentang rendahnya minat baca berkait dengan besarnya harapan para cendekiawan kita pada ramainya pasar buku di negeri ini. Adanya keluhan tentang rendahnya minat baca tentu saja karena buku-buku yang dijual di dalam negeri secara umum oplahnya rendah. Andai saja masyarakat kita gemar membeli buku (melebihi kegemaran beli gorengan), walau kemudian hanya dipajang di ruang tamu tanpa pernah dibaca, mungkin masalah minat baca tidak dipersoalkan. Di layar televisi seorang penulis mungkin akan berkomentar begini: hanya soal waktu, pada saatnya buku itu akan dibacanya.

Membaca bagi orang yang senang membaca seperti saya kalau dirasa-rasa memang berat. Apalagi kalau yang dibaca dirasa tidak ada untungnya. Dan rasa semacam ini sepertinya sudah muncul semenjak sekolah di tingkat dasar. Anak-anak sekolah tentu saja sudah akrab dengan buku, tapi apakah anak-anak itu menganggap buku-buku itu sebagai bacaan? Membaca harus menyenangkan, maka buku dengan isi yang bisa membuat pembaca antusias menjadi penting.

Beberapa waktu lalu saya datang ke agen maianan anak-anak, ternyata di sana ada tumpukan bacaan ringan berupa komik dengan sedikit halaman. Komik petruk gareng yang legendaris  ternyata masih diproduksi, cuma kontennya sekarang bisa dibilang memprihatinkan. Sepertinya banyak hal yang diproduksi belakangan ini kualitasnya cenderung lebih buruk dari pendahulunya.


Akhirnya untuk membuat bangsa kita gemar membaca jelas tak cukup dengan himbauan. Harus ada kebijakan-kebijakan yang bisa mengondisikan, tapi ah… sudahlah!

Tidak ada komentar: