Kalau disuruh milih antara sepatu atau sandal, saya
pasti pilih sandal. Biar dikata kampungan, biar ditolak masuk hotel berbintang,
saya lebih pilih sandal jepit daripada pakai sepatu yang ribet bin robet. Walau
tentu saja saya akan pakai sepatu ketika harus memakainya. Dan segera
menyopotnya ketika sudah tidak diperlukan lagi. Saya tidak suka sepatu karena
membebani, juga karena sampai sekarang masih sulit saya pahami kenapa kita
harus membungkus kaki sedemikian rupa untuk sesuatu yang tidak jelas perlunya (datang
ke kantor atau sekolah yang lantai ruangannya bersih terjaga, lalu kita pakai
sepatu, kenapa coba?).
Dan dalam sejarah hidup saya bersama sandal, sudah
ada banyak jenis sandal yang pernah menjadi bagian daripada hidup saya. Yang paling
dominan dari bermacam sandal itu tentu saja sandal jepit (sandal yang konon
asalnya dari Jepang ini memang paling banyak penggunannya, pasti karena murah).
Tapi yang paling berkesan adalah Sandal Lily.
Lily adalah merek, bukan jenis sandal, sedangkan jenis atau model sandal
bermerk Lily biasanya sandal slop. Bagi anda yang sekarang sudah tergolong
manula (manusia lama) pasti pernah kenal sandal Lily.
Kini, dengan bermunculannya merek-merek dagang baru
yang menghadirkan model-model mutaakhir sesuatu yang lama itu seakan hilang
ditelan bumi. Ditambah orang tua jaman sekarang tak mau kalah dengan anak-anak
mereka, biar sejauh-jauh pergi cuma sampai sawah, sandalnya sandal gunung. Kalaupun
memakai sandal jepit, sandal jepitnya yang model baru yang alasnya bergambar
SpongeBoob. Sampai akhirnya dalam beberapa waktu terakhir saya di desa, saya
yang sering terkenang masa lalu jadi bertanya-tanya, masih adakah Sandal Lily
itu?
Dan Tuhan pun menjawab pertanyaan saya tanpa waktu
lama. Tanpa sengaja ketika saya penasaran ingin melihat toko swalayan baru di
dekat daerah kami, ternyata di rak sandal ada sandal yang saya rindukan itu. Benar-benar
sesuatu yang mengejutkan, karena berpuluh tahun sejak terakhir saya memiliki
sandal Lily (sekitar esempe kelas satu) saya sudah tak pernah melihat orang
memakainya lagi. Eh, ternyata masih diproduksi, tapi kenapa tak pernah saya
melihat ada orang memakaninya?
Di toko masih ada, pasti masih ada pembelinya. Cuma kalaupun
jarang pemakainya sehingga saya tak pernah melihatnya, alasannya saya kira
jelas, harganya mahal. Ya, sandal yang modelnya sederhana dan terkesan kuno
dengan bahan dari plastik itu harganya bisa dibilang mahal. Saat melihatnya
kemarin harga termurah adalah lima puluh ribu. Saya yakin kalau anda tak punya
kenangan dengan sandal jadul ini, anda tak akan sudi membelinya apalagi pada
satu rak ada sandal model baru yang harganya jauh di bawahnya.
Bahkan dengan harga yang menurut saya mahal, dengan
model yang sama seperti sandal Lily yang terakhir saya miliki, saya curiga
kualitas bahan bakunya sudah tak sebagus yang dulu. Untuk bernostalgia tentu
saja layak beli, tapi entah mengapa saya merasa sandal model ini sudah tak
layak lagi untuk dibawa bepergian jauh. Saya masih ingat betul, bapak saya dulu
kemanapun pergi sandalnya pakai sandal Lily model yang ada di toko itu, yang selalu
warnanya hijau.
Adakah diantara para pemirsa yang punya masa lalu
menyenangkan bersama Lily?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar