Jumat, 05 Juni 2015

Lily Oh Sandal Lily

Kalau disuruh milih antara sepatu atau sandal, saya pasti pilih sandal. Biar dikata kampungan, biar ditolak masuk hotel berbintang, saya lebih pilih sandal jepit daripada pakai sepatu yang ribet bin robet. Walau tentu saja saya akan pakai sepatu ketika harus memakainya. Dan segera menyopotnya ketika sudah tidak diperlukan lagi. Saya tidak suka sepatu karena membebani, juga karena sampai sekarang masih sulit saya pahami kenapa kita harus membungkus kaki sedemikian rupa untuk sesuatu yang tidak jelas perlunya (datang ke kantor atau sekolah yang lantai ruangannya bersih terjaga, lalu kita pakai sepatu, kenapa coba?).


Dan dalam sejarah hidup saya bersama sandal, sudah ada banyak jenis sandal yang pernah menjadi bagian daripada hidup saya. Yang paling dominan dari bermacam sandal itu tentu saja sandal jepit (sandal yang konon asalnya dari Jepang ini memang paling banyak penggunannya, pasti karena murah). Tapi yang paling berkesan adalah Sandal Lily.  Lily adalah merek, bukan jenis sandal, sedangkan jenis atau model sandal bermerk Lily biasanya sandal slop. Bagi anda yang sekarang sudah tergolong manula (manusia lama) pasti pernah kenal sandal Lily.

Kini, dengan bermunculannya merek-merek dagang baru yang menghadirkan model-model mutaakhir sesuatu yang lama itu seakan hilang ditelan bumi. Ditambah orang tua jaman sekarang tak mau kalah dengan anak-anak mereka, biar sejauh-jauh pergi cuma sampai sawah, sandalnya sandal gunung. Kalaupun memakai sandal jepit, sandal jepitnya yang model baru yang alasnya bergambar SpongeBoob. Sampai akhirnya dalam beberapa waktu terakhir saya di desa, saya yang sering terkenang masa lalu jadi bertanya-tanya, masih adakah Sandal Lily itu?

Dan Tuhan pun menjawab pertanyaan saya tanpa waktu lama. Tanpa sengaja ketika saya penasaran ingin melihat toko swalayan baru di dekat daerah kami, ternyata di rak sandal ada sandal yang saya rindukan itu. Benar-benar sesuatu yang mengejutkan, karena berpuluh tahun sejak terakhir saya memiliki sandal Lily (sekitar esempe kelas satu) saya sudah tak pernah melihat orang memakainya lagi. Eh, ternyata masih diproduksi, tapi kenapa tak pernah saya melihat ada orang memakaninya?

Di toko masih ada, pasti masih ada pembelinya. Cuma kalaupun jarang pemakainya sehingga saya tak pernah melihatnya, alasannya saya kira jelas, harganya mahal. Ya, sandal yang modelnya sederhana dan terkesan kuno dengan bahan dari plastik itu harganya bisa dibilang mahal. Saat melihatnya kemarin harga termurah adalah lima puluh ribu. Saya yakin kalau anda tak punya kenangan dengan sandal jadul ini, anda tak akan sudi membelinya apalagi pada satu rak ada sandal model baru yang harganya jauh di bawahnya.


Bahkan dengan harga yang menurut saya mahal, dengan model yang sama seperti sandal Lily yang terakhir saya miliki, saya curiga kualitas bahan bakunya sudah tak sebagus yang dulu. Untuk bernostalgia tentu saja layak beli, tapi entah mengapa saya merasa sandal model ini sudah tak layak lagi untuk dibawa bepergian jauh. Saya masih ingat betul, bapak saya dulu kemanapun pergi sandalnya pakai sandal Lily model yang ada di toko itu, yang selalu warnanya hijau.

Adakah diantara para pemirsa yang punya masa lalu menyenangkan bersama Lily?





Tidak ada komentar: