Sudah setengah bulan Romadlon berjalan, ternyata. Tak
terasa dan berasa tak istimewa menjalaninya. Menjalani puasa di desa yang
monoton suasanannya, saya kira itulah penyebabnya. Atau karena saya sekarang
sudah tua, sehingga tak lagi merasakan keseruan sebagaimana puasa di masa
anak-anak. Tapi kalau diperhatikan
anak-anak sekarang pun beda dengan anak-anak jaman saya dulu, kini mereka lebih
asyik di dalam rumah menonton televisi seusai taraweh sehingga sulit menemui
kemeriahan di jalan atau dihalaman rumah bahkan saat bulan sedang purnama.
Sebenarnya tidak juga, pada pagi hari selepas sholat
Subuh jalan raya masih ramai seperti dulu. Dulu jaman saya anak-anak biasanya
setelah mendengar Kuliah Kubuh –sebelum tidur lagi—ada kebiasaan jalan-jalan
menikmati suasana pagi yang ceria. Jalan raya ramai oleh orang-orang yang
sekedar berjalan kaki. Ya, sekedar
berjalan-jalan lalu duduk-duduk ngobrol menunggu matahari menyala. Dan kini
masih seperti dulu, cuma suasanannya rada mengerikan karena banyak mercon
berterbangan.
Mercon berterbangan di sini bukanlah kembang api. Saya
bicara tentang mercon dar der dor yang dilempar buat perang-perangan. Di sini –atau
mungkin di tempat lain—mercon kembali marak menjelang dan selama Romadlon setelah
beberapa waktu sepertinya hilang dari peredaran. Tentu saja yang buat
perang-perangan mercon sebesar kelingking bayi atau yang disebut mercon korek
karena sumbunya serupa pentol korek. Namun di antara mercon-mercon kecil itu mercon
besar pun ternyata kembali ngetren.
Mercon besar yang sisa ledakannya meninggalkan sampah
kertas berjumlah banyak kini eksis kembali. Saya lihat para penjual mercon yang
kembali menjamur, di lapaknya menyediakan mercon gambar Singa yang pernah saya
akrabi di jaman anak-anak. Mercon cap Singa ini menyediakan macam-macam ukuran
setahu saya, dari yang sebesar jempol tangan sampai yang sepergelangan tangan. Dan
kini yang sejempol tangan ada di warung-warung dan jadi mainan anak-anak
kecil. Sedangkan yang besar sekali walau
di lapak-lapak tak bisa ditemui, ledakannya dan sampahnya pada pagi hari ada di
mana-mana.
Kembalinya mercon-mercon besar setelah sekian lama
sulit ditemui pada satu sisi memunculkan rasa senang, meski ada takut pada sisi
yang lain. Senang mungkin karena bisa merasakan kembali sesuatu yang pernah
jadi kesenangan di masa lalu, takut karena bagaimanapun menyenangkannya mercon
tetaplah barang berbahaya yang telah benyak memakan korban. Saya sendiri hanya
pernah merasakan kecelakaan-kecelakaan kecil, tapi orang tua saya jari tangan
kanannya tinggal dua, teman kecil saya tangan kanannya hanya sampai
pergelangan, dan teman akrab saya ujung jari telunjuknya hilang entah kemana
semua karena mercon. Beberapa hari lalu melihat keponakan yang masih anak taman
kanak-kanak di siang bolong menabuh mercon besar dengan adiknya yang berumur
tiga tahun—walau cuma mengagetkan— benar-benar membuat saya tersadar dengan apa
yang kini sedang berlangsung.
Saya tentu saja di sini tidak sedang menuntut razia
atau adanya penangkapan seorang nenek-nenek penjual mercon (beberapa waktu lalu
heboh seorang nenek-nenek di Tegal ditangkap polisi dan dimejahijaukan karena
konon memprodukksi mercon), saya hanya ingin kontrol yang ketat dalam
distribusi dan pengawasan di lapangan. Rokok dan sepeda motor yang juga bikin
masalah saja dibiarkan dijual-belikan masa mercon tidak boleh. Harus ada aturan
yang jelas dan ditegakkan.
Tak ada yang sia-sia di dunia ini, Tuhan menciptaakan
sesuatu pasti ada hikmahnya. Mercon cukuplah tidak boleh dijual bebas di
lapak-lapak kecil pinggir jalan apalagi di warung kampong, supaya pemanfaatannya
jelas, seperti di masyarakat Betawi yang
terpengaruh budaya Cina, mercon dimanfaatkan untuk acara-acara tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar