Kamis, 02 Juli 2015

Romadlon dan Mercon

Sudah setengah bulan Romadlon berjalan, ternyata. Tak terasa dan berasa tak istimewa menjalaninya. Menjalani puasa di desa yang monoton suasanannya, saya kira itulah penyebabnya. Atau karena saya sekarang sudah tua, sehingga tak lagi merasakan keseruan sebagaimana puasa di masa anak-anak.  Tapi kalau diperhatikan anak-anak sekarang pun beda dengan anak-anak jaman saya dulu, kini mereka lebih asyik di dalam rumah menonton televisi seusai taraweh sehingga sulit menemui kemeriahan di jalan atau dihalaman rumah bahkan saat bulan sedang purnama.



Sebenarnya tidak juga, pada pagi hari selepas sholat Subuh jalan raya masih ramai seperti dulu. Dulu jaman saya anak-anak biasanya setelah mendengar Kuliah Kubuh –sebelum tidur lagi—ada kebiasaan jalan-jalan menikmati suasana pagi yang ceria. Jalan raya ramai oleh orang-orang yang sekedar berjalan kaki.  Ya, sekedar berjalan-jalan lalu duduk-duduk ngobrol menunggu matahari menyala. Dan kini masih seperti dulu, cuma suasanannya rada mengerikan karena banyak mercon berterbangan.

Mercon berterbangan di sini bukanlah kembang api. Saya bicara tentang mercon dar der dor yang dilempar buat perang-perangan. Di sini –atau mungkin di tempat lain—mercon kembali marak menjelang dan selama Romadlon setelah beberapa waktu sepertinya hilang dari peredaran. Tentu saja yang buat perang-perangan mercon sebesar kelingking bayi atau yang disebut mercon korek karena sumbunya serupa pentol korek. Namun di antara mercon-mercon kecil itu mercon besar pun ternyata kembali ngetren.

Mercon besar yang sisa ledakannya meninggalkan sampah kertas berjumlah banyak kini eksis kembali. Saya lihat para penjual mercon yang kembali menjamur, di lapaknya menyediakan mercon gambar Singa yang pernah saya akrabi di jaman anak-anak. Mercon cap Singa ini menyediakan macam-macam ukuran setahu saya, dari yang sebesar jempol tangan sampai yang sepergelangan tangan. Dan kini yang sejempol tangan ada di warung-warung dan jadi mainan anak-anak kecil.  Sedangkan yang besar sekali walau di lapak-lapak tak bisa ditemui, ledakannya dan sampahnya pada pagi hari ada di mana-mana.

Kembalinya mercon-mercon besar setelah sekian lama sulit ditemui pada satu sisi memunculkan rasa senang, meski ada takut pada sisi yang lain. Senang mungkin karena bisa merasakan kembali sesuatu yang pernah jadi kesenangan di masa lalu, takut karena bagaimanapun menyenangkannya mercon tetaplah barang berbahaya yang telah benyak memakan korban. Saya sendiri hanya pernah merasakan kecelakaan-kecelakaan kecil, tapi orang tua saya jari tangan kanannya tinggal dua, teman kecil saya tangan kanannya hanya sampai pergelangan, dan teman akrab saya ujung jari telunjuknya hilang entah kemana semua karena mercon. Beberapa hari lalu melihat keponakan yang masih anak taman kanak-kanak di siang bolong menabuh mercon besar dengan adiknya yang berumur tiga tahun—walau cuma mengagetkan— benar-benar membuat saya tersadar dengan apa yang kini sedang berlangsung.

Saya tentu saja di sini tidak sedang menuntut razia atau adanya penangkapan seorang nenek-nenek penjual mercon (beberapa waktu lalu heboh seorang nenek-nenek di Tegal ditangkap polisi dan dimejahijaukan karena konon memprodukksi mercon), saya hanya ingin kontrol yang ketat dalam distribusi dan pengawasan di lapangan. Rokok dan sepeda motor yang juga bikin masalah saja dibiarkan dijual-belikan masa mercon tidak boleh. Harus ada aturan yang jelas dan ditegakkan.


Tak ada yang sia-sia di dunia ini, Tuhan menciptaakan sesuatu pasti ada hikmahnya. Mercon cukuplah tidak boleh dijual bebas di lapak-lapak kecil pinggir jalan apalagi di warung kampong, supaya pemanfaatannya  jelas, seperti di masyarakat Betawi yang terpengaruh budaya Cina, mercon dimanfaatkan  untuk acara-acara tertentu. 

Tidak ada komentar: