Romadlon sudah melewati hari kedua, berasa
waktu melaju cepat sekali. Baru kemarin menghitung hari menuju hari-hari puasa,
sekarang sudah menghitung anggaran buat belanja ini dan itu untuk keperluan
lebaran sebagai sesuatu yang tak terelakan. Sama tak terelakannya kita dari
rasa malas badan lemas karena tidak boleh makan ini dan itu di siang hari,
terlebih di awal Romadlon. Malas dan lemas mungkin sesuatu yang personal, tapi
di Indonesia dengan masyarakat mayoritas muslim yang personal bisa jadi massal dan itu bisa
dilihat dari keadaan yang tampak mata.
Pada hari pertama kemarin saya bepergian
dari pagi hingga menjelang sore, betapa sepanjang jalan tak cuma warung makan
yang tutup, bahkan toko plastik langganan, toko-toko aneka rupa sampai bengkel
motor terpantau tutup. Toko-toko yang buka pun terlihat sepi pengunjung. Jadi
bisa dipastikan sebabnya adalah awal bulan puasa. Kita tahu, meski puasa bukan sesuatu yang baru, tapi kebanyakan orang yang berpuasa dari tahun ke tahun seperti dipaksa dalam melakukannya. Dan memulai biasanya memang berat,
apapun itu, apalagi sesuatu yang serius dan terpaksa.
Ada yang bilang sepinya suasana awal Romadlon sebagai bagian menghormati orang puasa. Bisa jadi begitu, mereka para pemilik
toko yang tutup mungkin meniru kebiasaan sekolah-sekolah yang libur satu dua
hari di awal bulan agar yang berpuasa terbiasa dulu dengan rasa lapar saat
beraktifitas. Apalagi tak cuma berlapar-lapar, selama puasa biasanya orang
kurang tidur di malam hari. Di kampung-kampung sudah lazim malam-malam selama
Romadlon tak pernah sepi dari bunyi pengeras suara : ada tadarus al Qur’an
hingga menjelang tengah malam lalu lewat tengah malam sedikit sudah ada pengamen
keliling atau suara bocah-bocah kedombrengan
membangunkan sahur.
Soal menghormati orang berpuasa, di
masyarakat kita memang ada semacam tuntutan dari kalangan yang berpuasa bahkan
secara eksplisit. Pernah di kampung saya ada seorang tua marah=marah ketika
melihat ada seorang anak muda merokok di siang hari di bulan puasa. Bahakan tak
cuma memarahi si pemuda bandel itu, malamnya di musholla ketika taraweh
kasusnya pun dibuka di depan jamaah. Razia rumah makan atau sekedar menuntut
agar rumah makan memasang kelambu di pintu masuk bisa jadi bukti pula betapa di
tengah-tengah kita banyak orang berpuasa ingin dihormati. Anehnya kebisingan
selepas tengah malam yang mengganggu kenikmatan orang tidur tidak disalahkan.
Memang kesannya lucu, puaasa-puasa
sendiri tapi menuntut orang yang tidak berpuasa agar menghormati yang puasa. Mungkin
ini hanya persoalan lokal saja, di masyarakat muslim yang lebih matang mungkin
yang terjadi sebaliknya. Sebagaiamana diketahui, kewajiban berpuasa itu untuk
orang-orang beriman dan orang beriman sudah pasti orang yang benar-benar
memahami suatu perkara. Bahwa orang berpuasa itu sedang diuji kekuatan
kesabarannya, mestinya semakin banyak ujian semakin senang. Lagipula orang
beriman kelasnya lebih tinggi dari orang awam, maka yang mestinya menghormati terlebih
dulu adalah yang beriman.
Akhirnya saya ucapkan saja selamat
berjuang di bulan yang diberkahi ini, kepada yang berpuasa semoga sampai pada
ketaqwaan hingga jadi pribadi yang dihormati segenap makhluk di semesta. Dan untuk
yang belum berpuasa semoga dianugrahi dorongan ikut berpuasa lalu bisa berpuasa
dan dihormati oleh tetangganya yang berpuasa. Salam hormat dari saya untuk
semua.
wah ternyata di sana sampai toko plastik pun tutup...agak aneh juga ya...soalnya kalau di tempat ku masih pada buka sih. Ya seenggaknya yang muslimpun maklum lingkungan kami emang heterogen jadi sama sama saling menghirmati. Yang muslinlm menghormati yang nonmuslim...begitupula yang nonmuslim saling menghormati yang muslim :)
BalasHapusGustyanita:terimakasih komentarnya, hormat grak!
BalasHapus