Sudah masuk pertengahan bulan November, dan langit lebih sering mendung daripada
cerahnya, hujan pun telah jadi berita di mana-mana. Bukan hal aneh kalau pada
bulan-bulan berakhiran “ber” intensitas hujan cukup lumayan, apalagi sudah
hampir akhir tahun, yang lazimnya musim penghujan sedang merangkak ke level
puncak. Sungai-sungai penuh airnya, sawah ijo
royo-royo, wajah petani sumringah, tukang payung dan jas hujan riang
berdendang.
Tapi tak semua senang, ada juga yang mengeluh. Tukang es, biasanya yang
sering disebut-sebut sebagai makhluk yang patut dikasihani saat berlangsungnya
musim penghujan, walaupun tentu saja soal rizki nalar kita lebih sering kecele.
Namun yang jelas, bagi mereka yang setiap hari berkendaraan di jalanan Jakarta,
musim hujan berarti tingkat masalahnya ada di ubun-ubun. Menghadapi macet saja
sudah bikin kepala nyut-nyutan, ditambah hujan dan banjir menggenang di mana-mana
sudah pasti akan bertambah pengeluaran untuk balsem gosok dan obat demam. Apalagi
yang ada di bantaran kali, musim hujan artinya siap-siap kehilangan prabotan.
Ada suka ada duka, itu biasa. Tak hanya musim penghujan yang disikapi
dengan ceria dan keluhan, musim kemarau pun demikian. Bahkan untuk musim yang
kini waktunya sudah tak teratur—di tempat saya musim kemarau tak benar-benar
kemarau karena kadang hujan tetap turun dengan curah dan waktu yang cukup
lumayan—tetap saja sikap manusia tetap sama. Mungkin juga karena kondisi alam
yang sudah rusak, sehingga kadang hujan sebentar menimbulkan bencana lalu saat
matahari bebas bersinar panasnya seperti membakar.
Dan kini walau tak mesti hujan akan turun setiap hari, tapi hitungan musim
penghujan tetap saja meningkatkan kewaspadaan. Tak cuma bagi warga Jakarta yang
memang pelanggan banjir kiriman dari puncak, di kawasan pegunungan pun
kecemasan akan adanya bencana longsor benar-benar menguras perhatian. Tentu
saja ada harapan pada pemerintahan yang baru di negri ini, semoga mereka lebih
sungguh-sungguh bekerja mengelola bangsa dan negara sehingga keseimbangan hidup
bisa membaik.
Dan akhirnya saya jadi ingat dengan masa-masa dulu, waktu kanak-kanak saat
musim hujan sering saya main
hujan-hujanan dan hal itu jadi kebiasaan yang menyenangkan dan tak mencemaskan
orang tua. Kemudian saat tak ada hujan ramai-ramai mandi di sungai. Kini
peristiwa semacam itu sudah sulit ditemui karena hujan seakan turun membawa
penyakit dan sungai airnya selalu sedikit. Semoga ke depan fenomena alam tidak
terus menerus disikapi dengan keberjarakan yang berlebihan, karena pastinya
keberadaan semesta ini merupakan kombinasi serasi yang tujuannya untuk
keuntungan. Ya, semoga kita bisa mendapat hikmah dari segalanya.
3 komentar:
Hujan ngeluh panas ngeluh, harusnya kita pandai mensyukurui ya
Iya sekarang sudah mulai BOOMING Musim hujan di mana mana ya. Di Pontianak sendiri aja sudah seminggu terakhir ini huzzan terus. Brrrrrrrrrrrrrrr
mas huda:ya, bersyukur dengan pandai hehe
Mas Asep: ya, dimana-mana sekarang ramai hujan
Posting Komentar