Mendengar lagi keluh kesah dari tetangga soal beras mahal. Duh, sampai kapan beras akan dianggap mahal dan akankah terus bertambah mahal? Pertama saya mendengar kabar harga beras naik dari radio Elshinta dalam diskusi publik malam hari awal bulan lalu. Pembawa acara menyebutkan besarnya angka kenaikan sampai lima ribu rupiah per kilogram. Waktu itu esok harinya istri saya bilang beras yang kemarin sekilo 12000 rupiah jadi empat belas, tidak sampai lima ribu rupiah, walau begitu lumayan apalagi ada kemungkinan akan naik lagi.
Dari mendengar para pakar bicara, katanya soal harga beras naik di musim kemarau disebutnya wajar. Apalagi ada ancaman kemarau panjang sebagai dampak dari el nino. Tentu saja dalam hal ini saya tidak tahu, apakah karena kemarau panjang, karena si nino atau karenai luas lahan petanian terus berkurang. Bayangkan, jumlah perut yang harus dipasok nasi terus bertambah karena selalu ada bayi lahir setiap hari sedangkan stok luas lahan pertanian dan jumlah petani berkurang yang imbasnya beras terus berkurang karena pasokan gabah dari petani menyusut apalagi ada kemarau.
Kebutuhan beras kita memang tinggi. Dulu orang Indonesia ada yang makanan pokoknya jagung, sagu, ubi, sekarang masih adakah yang makanan hariannya bukan nasi? Tak aneh jutaan ton setiap tahun pemerintah impor beras. Kita impor beras dari negara-negara kecil seakan negara kita yang luas tanahnya tak terperi hanya berupa lahan tandus. Saya geleng-geleng kepala mengetahui hal ini sampai lapar.
Mengatasi persoalan beras Presiden sudah instruksikan impor beras lagi. Lalu menteri Dalam Negeri menghimbau warga tidak lagi makan nasi yang bisa bikin diabetes, disuruhnya kita makan ubi. Bagusnya menteri agama tidak ikut menghimbau agar umat Islam rajin puasa Senin-Kamis atau malah puasa Nabi Daud. Tidak salah orang-orang hebat itu melakukan semua itu demi mengatasi masalah yang sepertinya berat ini. Dan memang berat, sampai-sampai Menteri Pertanian mengundurkan diri. Sungguh masalah perut efeknya bisa kemana-mana, bisa bikin orang gelap mata, yang pejabat korupsi, yang yang pedagang ngapusi, lalu ketika rakyat sudah lapar semua terjadilah kerusuhan massal.
Saya secara pribadi tak masalah sejauh ini dengan adanya kenaikn harga beras. Bukan karena ada banyak uang untuk membeli beras apapun kebutuhan, tapi rasanya saya sudah tidak gampang terpengaruh dengan segala yang terjadi di sekitar saya. Makan nasi atau ubi bukan masalah, malah sebelum pak mendagri menghimbai nasi diganti ubi saya sudah makan ubi rutin. Saya memang dari dulu tidak terobsesi dengan nasi, makan apa saja pun jadi bahkan makan angin sudah biasa, paling jadi sering kentut.
Apalagi negara kita sejauh ini buruk pengelolaannya, tidak ada orang yang benar-benar bekerja, mereka cuma cari duit dan tak peduli keadaan di luar dirinya. Berharap kepada pejabat untuk perbaikan hidup, tidak layaw. Berharap kepada Tuhan lebih baik dan memang sudah semestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentarlah sebelum anda dikomentari