Sabtu, 24 Februari 2018

Hidup di Ladang Bencana

Negeri ini, menyimak catatan sejarahnya sepertinya sejenis ladang bencana alam. Bukan karena sekarang di tanah air saya—Brebes—sedang ada rangkaian bencana alam (banjir dan tanah longsor) yang susul-menyusul sehingga muncul ungkapan itu, secara nasional dalam kurun waktu sepuluh tahunan kita bisa melihat catatan bencana yang bisa membuka wawasan kita tentang bumi nusantara tercinta. Negeri yang dibelit cincin api, kerakatau pernah habis kini anaknya muncul kembali.


Ditemukannya fosil-fosil dan bangunan di dalam tanah saya pikir: ini buktinya. Negeri yang gunung-gunungnya—ada 127 gunung berapi aktif-- berbaris seperti mobil macet saat lebaran, salah satunya ketika meletus pasti abu dan laharnya menguruk  benda-benda sejarah itu hingga tersembunyi di kedalaman tanah . Gunung Padang sejak awal dekade 80an sampai sekarang masih dikorek-korek isinya diduga bangunan berbentuk piramida, yang jika benar pasti karena tertimbun debu letusan gunung berapi.

Juga konon laut Jawa itu dulu daratan. Sekarang jadi penuh air kalau dikaitkan dengan penemuan ilmuwan Cina dan Turki yang dirilis Life Magazine beberapa tahun lalu yang menurutnya perahu Nabi Nuh bahannya kayu jati dari Jawa jangan-jangan bapaknya Kanan itu rumanya di dasar laut itu sebelum banjir besar. Atlantis, negeri dongeng entah di zaman apa juga kata Prof. Santos dulu di sini. Dan tentu saja masih ada yang bisa disebut, cuma saya malas nulisnya.

Ketika sekarang sedang ramai bencana, saya bicara hal semacam ini semoga bisa diterima sebagai sesuatu yang positif. Karena bencana sebagai kenyataan yang tidak dikehendaki oleh korbannya belakangan sering datang dan sulit dihindari. Karena sulit dihindari, akan lebih baik dinikmati saja. Apalagi kenyataan juga membuktikan bahwa bencana-bencana yang kita alami banyak yang terjadinya karena hasil kerja tangan kita.

Gunung meletus, gempa bumi, Tsunami sudah pasti bukan karya manusia. Di Indonesia peristiwa itu sudah sering terjadi sejak zaman sebelum Nabi Nuh bisa jadi. Walau berat, menikmatinya selagi bisa rasanya lebih baik daripada hidup saling menyalahkan lewat media sosial yang akhirnya jadi fitnah nasional.  Atau bikin fitnah nasional juga –jangan-jangan—salah satu cara menikmati hidup di ladang bencana, yaitu sejenis menaburi pupuk setelah bercocok tanam dengan membuang sampah sembarangan, menggunduli hutan dan membangun hidup tanpa aturan.

Bagaimanapun bencana datang silih berganti, negeri ini tetaplah negeri yang menyenangkan untuk ditinggali. Sampai kapanpun tak pernah kekurangan penduduk. Datang dan pergi, hidup dan mati, hidup harus dinikmati. Bukankah yang wajib dilakukan manusia adalah bersyukur? Tak mungkin bisa bersyukur jika tak bisa menikmati, dong!

Tidak ada komentar: