Negeri
ini, menyimak catatan sejarahnya sepertinya sejenis ladang bencana alam. Bukan
karena sekarang di tanah air saya—Brebes—sedang ada rangkaian bencana alam
(banjir dan tanah longsor) yang susul-menyusul sehingga muncul ungkapan itu,
secara nasional dalam kurun waktu sepuluh tahunan kita bisa melihat catatan
bencana yang bisa membuka wawasan kita tentang bumi nusantara tercinta. Negeri yang
dibelit cincin api, kerakatau pernah habis kini anaknya muncul kembali.
Ditemukannya
fosil-fosil dan bangunan di dalam tanah saya pikir: ini buktinya. Negeri yang
gunung-gunungnya—ada 127 gunung berapi aktif-- berbaris seperti mobil macet
saat lebaran, salah satunya ketika meletus pasti abu dan laharnya menguruk benda-benda sejarah itu hingga tersembunyi di
kedalaman tanah . Gunung Padang sejak awal dekade 80an sampai sekarang masih
dikorek-korek isinya diduga bangunan berbentuk piramida, yang jika benar pasti
karena tertimbun debu letusan gunung berapi.
Juga
konon laut Jawa itu dulu daratan. Sekarang jadi penuh air kalau dikaitkan
dengan penemuan ilmuwan Cina dan Turki yang dirilis Life Magazine beberapa tahun lalu yang menurutnya perahu Nabi Nuh
bahannya kayu jati dari Jawa jangan-jangan bapaknya Kanan itu rumanya di dasar
laut itu sebelum banjir besar. Atlantis, negeri dongeng entah di
zaman apa juga kata Prof. Santos dulu di sini. Dan tentu saja masih ada yang
bisa disebut, cuma saya malas nulisnya.
Ketika
sekarang sedang ramai bencana, saya bicara hal semacam ini semoga bisa diterima
sebagai sesuatu yang positif. Karena bencana sebagai kenyataan yang tidak
dikehendaki oleh korbannya belakangan sering datang dan sulit dihindari. Karena
sulit dihindari, akan lebih baik dinikmati saja. Apalagi kenyataan juga
membuktikan bahwa bencana-bencana yang kita alami banyak yang terjadinya karena
hasil kerja tangan kita.
Gunung
meletus, gempa bumi, Tsunami sudah pasti bukan karya manusia. Di Indonesia
peristiwa itu sudah sering terjadi sejak zaman sebelum Nabi Nuh bisa jadi. Walau
berat, menikmatinya selagi bisa rasanya lebih baik daripada hidup saling
menyalahkan lewat media sosial yang akhirnya jadi fitnah nasional. Atau bikin fitnah nasional juga –jangan-jangan—salah
satu cara menikmati hidup di ladang bencana, yaitu sejenis menaburi pupuk
setelah bercocok tanam dengan membuang sampah sembarangan, menggunduli hutan
dan membangun hidup tanpa aturan.
Bagaimanapun
bencana datang silih berganti, negeri ini tetaplah negeri yang menyenangkan
untuk ditinggali. Sampai kapanpun tak pernah kekurangan penduduk. Datang dan
pergi, hidup dan mati, hidup harus dinikmati. Bukankah yang wajib dilakukan
manusia adalah bersyukur? Tak mungkin bisa bersyukur jika tak bisa menikmati,
dong!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar