Hari C alias hari coblosan sudah di depan hidung, baunya sudah sangat
menyengat. Lokasi TPS (Tempat Pencoblosan Surat suara)pun sudah ditetapkan,
petugas sudah tampak sibuk bolak-balik rapat. Dan tak kalah semangat, mereka
para tukang bagi-bagi duit tentu
saja—ada yang mendaftari warga lalu diberi janji, ada yang langsung mengundang
warga kerumah meminta agar mencoblos si anu lalu pulangnya dibagi duit dan ada
yang membaginya di lapangan saat ramai-ramai kampanye lalu.
Soal bagi-bagi duit saya kira semua sudah pada tahu, karena sudah bukan
rahasia lagi. Walau politik uang dilarang, tapi praktek suap menyuap kan bukan
sesuatu yang baru di masyarakat kita, sudah mendarah daging, bahkan kalau
melihat praktek yang ada kini para pejabat di negri ini sepertinya tengah
mengupayakan pelegalannya. Lihat saja di saat kampanye pemilu sekarang, mereka
para calon atau yang sudah jadi petinggi negara begitu demonstratif di depan
kamera wartawan televisi menyuapi warga dengan duit seakan memang harus
demikian kalau orang sedang ada keperluan.
Seperti saat long weekend di akhir bulan di kampung, menggantikan mertua
yang tak bisa mendatangi undangan acara
mendengarkan caleg ngoceh karena beliau pegawai negri, saya saksikan para blampakempus itu tak pakai cara dan bahasa
orang Jawa lagi, tapi sudah gaya orang Eropa yang terus terang gamblang
glondang. Si caleg yang sedang berkompetisi di DPR pusat dan bukan warga
setempat hanya datang sesaat di sebuah rumah milik warga, setor wajah dan
bagi-bagi contoh surat suara yang ada nama dirinya, minta dicoblos lalu pergi
meninggalkan warga yang sudah tidak sabar ingin membuka amplop yang dibagikan oleh
pemilik rumah. Dan ternyata, sepuluh ribu rupiah.
Tak bisa disangkal ini jelas praktek suap. Tradisi yang telah hidup
mendarah daging di masyarakat kita tapi dikeluhkan ini sepertinya kini telah
sampai pada tahap di rayakan. Dulu orang menyuap dengan cara sembunyi-sembunyi,
lalu ada masanya malu-malu, kemudian terus terang tapi hanya beberapa orang
yang tentu saja menimbulkan gunjingan dan kecaman, dan sekarang sepertinya orang
sudah biasa ramai-ramai menyuap maka orang-orang yang biasa menyuap itu pun
merasa berhak disuap, beramai-ramai.
Maka bertambah pula kecemasan tentang masa depan, betapa dengan pemilu yang
sekarang sepertinya kita tak akan mendapatkan wakil rakyat yang sesuai harapan,
secara bersamaan rakyat juga terus menerus dikondisikan pada pola hidup yang
menyesatkan. Sesuatu yang jahat memang masih dikecam di mulut, tapi ramai-ramai
kita melakukan. Politik uang diarang undang-undang, tapi prakteknya yang gegap
gempita terus biarkan.
Tentu saja saat ini rakyat senang dengan banyaknya uang suap yang mereka
terima dari mereka yang ingin tercapai hasratnya dengan bantuan orang banyak.
Tapi apakah orang banyak itu sadar, bahwa sangat mungkin nanti mereka akan
dituntut menyuap pula dengan jumlah uang yang lebih besar jumlahnya saat
memerlukan sesuatu yang semestinya bisa didapatkan dengan mudah dan tak perlu
mengeluarkan biaya? Tentu saja banyak yang sadar karena mereka telah biasa
mengalaminya, buktinya orang-orang kini berlomba-lomba mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya dengan apapun cara, karena tanpa uang tak mungkin bisa
menyuap dan hidup pasti akan sulit.
Rasanya sudah yakin saja kini, bahwa memilih para penyuap itu hanya akan
membuat masa depan tambah suram. Walaupun sadar diri juga bahwa selama ini tak
bisa luput dari tradisi suap, tapi dengan adanya sedikit kesadaran bahwa dengan
praktek-praktek merusak yang kini didemonstrasikan itu hari esok akan lebih
kelam, memang lebih baik tidak memilih siapapun karena sangat mungkin mereka
sama atau kalau harus merasa memilih bisa saja nanti coblos saja semua nama
yang ada apapun nama atau partainya.
Lalu bagaimana sebagai orang beragama kini, mengingat agama mengatakan
bahwa penyuap dan yang disuap sama-sama berdosa dan bagiannya neraka? Kalau
saya mengatasinya dengan tidak menganggap pemberian itu sebagai suap, tapi
menganggapnya sebagai uang pemberian biasa dari orang-orang bingung yang tidak
tahu harus bagaimana memperlakukan uang. Lalu tentu saja saya tidak akan
memilih dirinya, sebab kalau saya memilihnya apapun alasannya karena sudah
menerima pemberian sebelumnya jatuhnya suap juga. Jadi slogan “ambil uangnya jangan pilih
orangnya”, menurut saya bisa menghilangkan hakekat suap, walaupun tidak bagi si
penyuap karena dia sudah diniati demikian.
Selamat memilih saja dari saya.
6 komentar:
semoga pemilunya berjalan dengan baik dan sukses :)
selamat nyoblos besok ya mas
smuainfo: sepertinya baik-baik saja sekarang
mbak ely: sudah mbak
ahli agama yang berdakwah saja banyak yang mengalami kasus penipuan di pengobatan, apalagi kita kita
yang disuap dan yg menyuap sama2 berdosa...semoga saja kita tidak termasuk salah satu diantaranya;...keep happy blogging always..salam dari Makassar :-)
pokok e nyo blos ya mas?
ora ngerti parte ne
ora ngerti caleg-e
sing penting aku ...nonton wae :D
Posting Komentar