Dua hari terakhir hujan deras mengguyur Jakarta setiap sore hingga menjelang malam. Tidak lebat memang dan tentunya tak sampai menimbulkan kehebohan karena banyaknya genangan air yang menenggelamkan tikus-tikus got, tapi cukup deras.
Entahlah, apakah kondisi yang saya alami berlangsung merata di seantero Jakarta, atau pada titi-titik tertentu saja. Saya tidak tahu ini dengan pasti karena saya bukan pedagang keliling. Yang saya tahu pasti adalah ketika tadi pagi keluar rumah dan melintas jembatan tampak air sungai menderas tak seperti biasanya. Air coklat itu menghanyutkan kantong-kantong plastik berisi sampah-sampah yang biasanya beronggokan. Sungai yang biasanya tidak menyenangkan dipandang mata itu tadi pagi seperti menyelusupkan ke dalam dada sesuatu yang membuat rongga dada serasa lapang. Kenapa bisa begitu ya?
Pemandangan sungai yang penuh air itu juga membawa saya ke masa lalu. Betapa dulu ketika di desa saat masih kanak-kanak, akrab dengan sungai yang banjir adalah dunia yang menyenangkan. Sepulang sekolah ketika udara lagi panas-panasnya sungailah tempat bermain paling asyik. Puluhan anak-anak berlompatan dari bibir sungai dengan bermacam gaya, berjam-jam berendam di dalamnya juga begitu biasa. Ketika sore, kala udara terasa adem mancing jadi kegiatan lanjutannya. Sungai adalah dunia tak terpisah bagi saya sebagai anak desa.
Tapi yang saya alami sebagai kesenangan dulu di desa sepertinya bukan milik anak-anak sekarang, apalagi yang hidup di perkotaan seperti Jakarta. Sungai-sungai sekarang tak bisa untuk bermain. Di desa sungai menyempit dan cenderung kering sepanjang tahun, kalau ada hujan baru dilalui air dan hal itu pun sebentar karena musim tidak lagi tentu waktunya. Ikan-kan yang bisa dipancing tak ada lagi, kalaupun ada biasanya ada saja orang bodoh yang membunuhnya secara massal dengan obat entah apa namanya. Kesenangan masa lalu itu telah menjauh kini.
Di Jakarta sungai-sungai sekedar tempat pembuangan sampah. Kalaupun ada airnya biasanya mandek dan warnanya hitam berbau. Ketika hujan lebat meluap dan menggenangi apa saja yang layak atau tidak layak digenangi. Ah, andai saja sungai-sungai Jakarta seperti sungai-sungai di Eropa yang bisa buat wisata.
Yang jelas masa lalu telah ditinggalkan dan sekarang tinggal menikmati sungai yang ada. Sungai-sungai yang kotor dan bau juga masih enak dipandangi kok, beberapa waktu lalu malam-malam di depan Galeri Antara di Pasar Baru saya berdiri di samping sungai memandangi air-air yang diam juga menghadirkan banyak lamunan. Akhirnya jadi inget perkataan Kresna pada Wisanggeni dalam novelnya Seno Gumira Ajidarma: Belajarlah kepada sungai yang telah mengembara di langit. Ya, sudahlah!
6 komentar:
rumahku jg banjir tadi malem hehe :p
saya gak mengalami apa yang mas alami waktu kecil.. T_T
wah sidoarjo kagak banjir kawand
Sejenak tafakur dalam kehingan……..
Memaknai arti hidup dalam seraingkaian khilaf dan dosa…..
Lisan kadang tak terjaga,….
Jannikadang terabaikan,……
Hati kadang berprasangka,….
Sikap kadang menyakitkan,…..
Harapan ini akan menjadi indah…..
Jika maaf & silahturrahim ada diantara kita.
Selamat menempuh bulan suci Ramadhan 1431 Hijriah.
Mohon maaf lahir dan batin.
Semoga Allah selalu memberikan
Taufiq, Hidayah, Maghfirah dan Ridho-Nya untuk kita semua.
Amiiiii….n !
hahahahahahaha
judulnya kurang, harusnya: Sungai banjir (yaiyalah, masa meletus?) :p
Ria: bagus lah kalo begitu :D
Arif: waduh kasihan
Tomo: besok kali gan
Eyang: amiiiin
Tukang colong udah sampe bali belum?
Posting Komentar