Kemaren tetanggaku seorang ibu jalan-jalan entah ke mana dan dalam perjalanan menurutnya membeli pulsa di sebuah warung pulsa (tentu saja). Beliau membeli pulsa lima ribu rupiah, yang katanya sekedar agar simcard-nya tidak hangus karena masa tenggangnya hampir habis. Katanya setelah membayar kepada penjualnya tanpa mengecek pulsa yang masuk ibu tadi langsung jalan. Sesampai di rumah ternyata ada masalah, si penjual pulsa meneleponnya dan mengatakan kalau pulsa yang masuk salah, salah jumlah karena yang mestinya lima ribu ternyata lima puluh ribu. Greeeng...!
Tetangga saya tadi mengatakan kalau itu rejeki. Permintaan penjual pulsa agar pulsa kelebihannya dikembalikan tak ditangapi, katanya: "Dia yang salah, ini rejeki saya." Haha...sesuatu yang khas. Sesuatu yang lazim ditemui dalam pergaulan sehari-hari. Seperti orang-orang yang merasa nemu hape, entah karena jatuh atau tertinggal di masjid karena pemiliknya lupa seusai sholat, langsung dianggapnya itu rejeki.
Apa itu rejeki sesungguhnya. Orang di mana-mana ribut rejeki. Ramai-ramai mencari dan rebutan sesuatu yang bernama rejeki itu. Saling menyakiti, sikut kanan-kiri demi sesuatu yang rasanya perlu diperjelas apa sebenarnya itu rejeki.
Konon rejeki itu sesuatu yang kita nikmati. Sesuatu yang kita makan dan kita kenakan. Sedang yang kita miliki tapi belum dimanfaatkan namanya harta. Dan perlu dicamkan bahwa harta kita itu belum tentu rejeki kita. Bisa rejekinya kucing, rejeki tetangga atau rejeki maling. Lalu benarkah yang dikatakan tetangga saya tadi bahwa pulsa kelebihan itu rejekinya?
Dalam ribut-ribut soal pulsa itu ada seorang bapak yang rasanya pantas untuk didengar omongannya. Menurutnya, ibu tadi harus mengembalikan pulsa itu. "Bayangkan kalau yang jualan pulsa itu anak ibu," katanya. Memang, yang menanggung rugi pasti pelayannya itu yang belum tentu pemiliknya karena dia yang bertanggung jawab atas hilangnya pulsa tersebut. Berapa juga keuntungan yang didapat dari jualan pulsa itu, rasanya tak banyak.
Juga, ini kan sesuatu yang jelas perkaranya. Tanpa dimintapun semestinya kelebihan itu dikembalikan. karena pemiliknya ketahuan. Sebagaimana nemu hape, kan ada nomor yang mungkin untuk dihubungi atau pemiliknya biasanya akan menelpon dan meminta kembali barang miliknya itu. Bagaimana bisa ada klaim sebagai milik kita sementara begitu jelas siapa pemilik yang sebenarnya. Semoga tetanggaku mau mengembalikan kelebihan pulsa itu karena pasti di tempat jauh sana ada orang yang sedang menyumpah-nyumpah karena jengkel.
Dan kalau memang itu rejeki, pasti bukan rejeki halal. Ada yang bilang rejeki yang tak halal bisa bikin darah kotor lho!
Dan kalau memang itu rejeki, pasti bukan rejeki halal. Ada yang bilang rejeki yang tak halal bisa bikin darah kotor lho!
11 komentar:
salam sobat
kok bisa salah masuk, harusnya 5.000 menjadi 50.000.
ya, mungkin rejeki ibu itu.
Mbak Nura, hihihi
wah, soal rejeki emang sudah ada yg atur.
demikianlah
em, jadi itu mungkin memang rezeki haramnya si tetangga, atau bukan rezekinya si penjual pulsa.. he
seharusnya dikembalikan kelebihannya, mungkin sipenjualnya lupa, ngelamun atau apalah yang mengakibatkan kelebihan pulsa. tapi kalo si Ibu itu tetap tidak mau mengembalikan yaaa resikonya si penjual yang tidak teliti.
Sepakat bnget sodaraku. Akan sangat baik klo kelebihan itu dikembalikan. Seperti karyawan foto kopi yg sangat gelisah saat lupa mengembalikan uang kembalian pelanggan 500 perak.
itu kesalahan yg jual pulsa, si ibu py hak tuk gak ngembaliin, apalagi jika si ibu bukan org mampu, so bisa dibil itu rejekinya si ibu hehe
Setuju. Untuk apa kita mendapatkan sesuatu tetapi ada orang lain yang terzalimi oleh tindakan kita.
wah itu bukan rejeki kawand.
menurutku harusnya juga harus dibayar 50 rb.
kasian si penjual pulsanya dunk
Takuya:iya, hehehe
Harto:mungkin juga begitu
Gaelby: oke
warcoff:hehehe
Tomo:kasihan memang kawand
Posting Komentar