Kamis, 16 Desember 2010

Dari Pemain Bayaran ke Naturalisasi

Membicarakan sepakbola selalu saja yang terbayang adalah masa kecil. Dulu main sepakbola merupakan aktifitas harian. Menonton sepakbola pun aktifitas yang tak kalah rutin. Di desa saya dulu banyak dibentuk klub sepakbola, dari klub yang berlatar belakang kampung sampai profesi. Desa saya desa yang sangat luas yang terdiri dari banyak kampung atau pedukuhan, dan masing-masing memiliki klub sepakbola sendiri. Untuk yang berlatar profesi, saya ingat ada klub BMPK yang anggotanya para supir dan kenek mobil angkutan umum atau angkutan barang. Ada juga PS Tempur, yaitu para tukang tempur alias pedagang beras. Kompetisi hidup dan menonton sepakbola dengan membayar tigaratus rupiah sepertinya sesuatu yang bisa disebut murah meriah.


Pada masa itu saya belum mengenal sepakbola sebagai sebuah profesi, tapi saya ingat dulu ada orang-orang yang bermain untuk suatu klub karena dibayar. Bahkan desa saya rasanya dulu selalu memakai dua orang pemain yang bukan warga setempat.  Atau ada seorang teman kecil saya yang kini sering diminta membela desa tetangga. Pun pada pertandingan antar sekolahan, ada saja pemain yang bukan siswa sekolah tersebut, bahkan bukan anak sekolahan yang tampangnya tentu saja gampang dikenali.

Dan sekarang ada istilah naturalisasi, saya pikir tak beda dengan pola-pola yang saya sebut di atas. Apalagi sekarang di era sepakbola sebagai profesi. Dulu klub sepakbola kampung mengajak orang jauh yang dianggap "jago" untuk membantu memenangi pertandingan. Sekarang klub-klub sepakbola di seluruh dunia memanfaatkan pemain-pemain dari banyak negara untuk memperkuat kesebelasannya. Sampai akhirnya negara pun melakukan juga dengan istilah naturalisasi.

Indonesia yang lama terpuruk dunia sepakbolanya kini sedang bergairah melakukan naturalisasi. Sudah dua orang yang kini resmi memperkuat Tim Nasional (Timnas) dan dengan hasil yang dianggap positif gairah itu sepertinya kian meningkat. Ada banyak pemain yang dibidik dan tinggal menunggu bagaimana nanti akhirnya. Saya tidak tahu apakah ini sesuatu yang adil bagi dunia sepakbola Indonesia terutama bagi para pemain lokal. Bagi para pemain asing yang dinaturalisasi tentu saja yang didapat adalah keuntungan karena bisa main di level nasional --sesuatu yang belum tentu dapat dilakukan di negaranya, tapi bagi Indonesia apakah sebuah tropi cukup untuk disebut sebagai keuntungan? Entahlah, yang jelas saya sekarang lebih memikirkan hasil pertandingan antara MU lawan Chelsea di akhir pekan nanti daripada pertandingan Timnas nanti malam.

10 komentar:

Unknown mengatakan...

wah, tau gitu jadi pemain bola aja ya. hehee

Rchymera mengatakan...

Jadi pemain nasional aja enak sobat apalagi jadi pemain internasional,bayarannya pasti selangit xixixi...:D

Muhammad A Vip mengatakan...

sangcerpenis:hehehe
Rchymera:matre. hehehe

Mulyani Adini mengatakan...

Sayang gak terlalu tertarik tentang berita bola.
Meskipun begitu harus bangga buat pemain Indonesia.

warcoff mengatakan...

ya gak usah dipikirin mas yg penting bisa juara dulu hehe, btw MU vs Chelsea, tentu MU lah yang menang hahaha

TUKANG CoLoNG mengatakan...

aku malah gag sukanya ama pers kita. pas menang aja gembar gembor. ulas ampe habis.

udah aja kalah, dihina abis-abisan. bahkan terkesan males dibahas

pakde sulas mengatakan...

kalau di surabaya tempo dulu pemain yang bajak dari kota lain atau bukan penduduk setempat disebut pemain bon-bonnan karena kita musti bayar mereka.
soal timnas, pakde sangat mencintai timnas, cuma akhir akhir ini pakde rada sebel saja karena pemberitaan timnas yang berlebih-lebihan, maenurut pakde pemberitaan timnas sekarang belum pantas diberitakan seheboh itu karena belum memenangi piala apapun

attayaya meta mengatakan...

sepakbola Indonesia dan olahraga lainnya harus maju

Goyang Karawang mengatakan...

kalo di kampung saya namanya pemain cepolan :)

Muhammad A Vip mengatakan...

Ibudini:sayang
tukang colong:hahaha
warcof:okelah
pakde:memang lebay pakde.
attayaya:maju ke mana?
goyang:cepolan?