Terkuaknya praktik perbudakan di Tangerang Banten di akhir pekan kemarin (3/5) tidak mengagetkan bagi saya. Pabrik wajan yang konon mempekerjakan pegawainya dengan tidak manusiawi itu dan mempekerjakan anak-anak, yang kini jadi bahan pembicaraan di media massa dan terkesan mengagetkan, bagi saya fenomena biasa. Maksud saya kenyataan semacam itu gampang ditemui. Yang aneh justru ketika banyak tokoh terkaget-kaget bahkan menyatakan diri geram.
Pekerja di bawah umur atau anak-anak setahu saya fenomena lazim di negeri ini. Anak-anak bekerja di pabrik-pabrik kecil, di lokasi pembangunan rumah, bahkan di jalanan bukan sesuatu yang tersembunyi. Orang kebanyakan pun menyaksikan itu semua dengan sikap wajar, sebab apa yang salah dengan mereka, melakukan sesuatu yang menghasilkan uang kenapa pula harus dipermasalahkan.
Pokoke Kerja. Saya kira itu yang ada di benak siapapun yang kini bekerja. Anak-anak yang mestinya sekolah harus bekerja, orang-orang bekerja apa saja sebisanya, para sarjana bekerja tak sesuai dengan bidang keahliannya, orang tak beradab duduk di tempat terhormat, semuanya tak lepas dari apa yang disebut "Bekerja". Demi mendapat uang agar bisa dianggap hidup.
Orang rela dihina-dina, demi agar tidak diremehkan masyarakat. Karena dengan bekerja bisa punya uang untuk membeli pakaian bagus dan handphone. Dan saya punya banyak teman entrepreneur yang memanfaatkan kodisi mental semacam ini. Orang dipekerjakan siang malam dengan bayaran seenak wudele dewek.
Saya tentu merasakan ketidak beresan itu, tapi harus bagaimana? Si entrepreneur itu saya suruh membayar pegawainya sesuai ketentuan pemerintah, saya suruh si pegawai keluar dari tempat kerjanya, atau apa? Saya sendiri mengalami hal semacam itu bertahun-tahun sejauh yang bisa saya lakukan hanya menggerutu. Yang bandel jika ada kesempatan korupsi kecil-kecilan akan melakukannya, dan hal itu sudah bukan rahasia. Jadi kondisi yang kini berlangsung di masyarakat memungkinkan terjadinya perbudakan atau apapun istilahnya.
Di awal bulan lalu para buruh demo besar-besaran dan dipastikan aksi semacam itu akan jadi agenda rutin tahunan. Mereka para buruh bersuara menuntut perbaikan nasib mereka. Dan mereka para buruh pabrik itu pasti kondisinya lebih baik dari buruh pabrik wajan "sialan" dari Tangerang. Saya jadi bertanya: pedulikah mereka dengan sesama buruh yang benar-benar diperbudak? Peduli dengan pembantu rumah tangga atau pelayan warteg yang kerja 24 jam dan dibayar Rp 250 ribu sebulan?
Kalau bicara kepedulian saya dan siapapun anda pasti peduli, ya toh?!
11 komentar:
Kasihan sekali mereka2 yang bekerja dengan gaji yang jauh di bawah UMK.
Harusnya siapa saja yang mempekerjakan orang lain harus siap dengan tanggungjawab menggaji dg layak ya?
Pokoke iso kerjo... wah menyedihkan sekali. Yang penting dapat gaji, meski seadanya... :(
Semoga saja kondisi spt ini dpt segera berubah. Aamiin.
iya ya...
sing penting kerja, membawa masa yang suram buat mereka. kenapa masih ada ya perbudakan di era sekarang di negara demokrasi endonesa raya
kerja juga harus pilih-pilih jangan asal kerja saja.
Tak tahunya di dalam pekerjaan yang dilakoni ada perbudakan kayak jaman fir'aun.
Kok masih ada saja saya dengan kata budak ini. Bukankah perbudakan sudah dihapus dari dunia.
Buat mereka-mereka yang berhasil meloloskan diri di Tangerang, kalian berhasil pada tahap pertama
Sungguh sangat keterlaluan ulah pengusaha yang memperbudak buruh demi keuntungan yang tak sepeserpun diberikan kepada buruh tersebut. Harus ada kontrol yang kuat dari pemerintah untuk membungkam pengusaha nakal tsb.
banyak pekerja gajinya di bawah UMR dan mereka tak punya standar gaji
Bener itu.... itu belum apa2 dengan penderitaan PRT yang gajinya bahkan gak sampai satu juta...
SBY: saya prihatin
kerja harus pilih2 itu ada gunanya
soal rasa prihatinnya SBY ketahuan basa basinya, mestinya sebagai presiden bukan ucapan prihatin yang keluar dari mulutnya tapi perintah pada menteri soal pembenahan
Posting Komentar