Kamis, 15 September 2016

Qurban dan Daging

Hari Raya Qurban baru saja lewat. Cuma karena belum jauh pergi, baunya masih terasa, apalagi begitu banyak yang ditinggalkannya. Di rumah saya beberapa kantong daging kambing dan sapi masih berjejalan. Dan saya yakin di rumah-rumah yang ada kulkasnya daging qurban— walau mungkin sedikit— pasti masih ada. Ya, daging adalah ciri yang khas dari Hari Raya yang satu ini.


Bicara qurban selalu bicara tentang daging. Daging apapun: daging kambing, daging sapi, daging kerbau, daging unta dan mungkin ada daging hewan lain. Mbah saya menurut cerita dulu setiap Hari Raya Qurban biasanya menyembelih ayam, yang kemudian dimasak lalu dibagi-bagikan pada tetangga (pernah hal ini saya tanyakan pada seorang penceramah, katanya ini bukan qurban karena ayam bukan termasuk hewan qurban). Pada hal ini saya sering membayangkan atau mengandaikan Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah bukan ke Madinah melainkan ke suatu tempat yang tak ada kambing (di pantai lalu jadi nelayan misalnya) apakah qurban beliau tidak mungkin dalam bentuk yang lain? Pernah ada seorang cendekiawan muda yang mengatakan andai Nabi seorang pekebun mungkin qurbanya adalah sayur-sayuran (haha).

Tapi memang, bicara soal daging pada kenyataannya di manapun di muka bumi ini ada kesan orang menganggapnya sebagai sesuatu yang bernilai lebih. Di tempat saya, kalau orang makan lauk sate kambing kesannya selalu wah. Daging pun harganya selalu mahal. Pun mereka para vegetarian yang tak makan daging, ada saja caranya mengakali keinginannya makan daging dengan membuat daging palsu yang bahannya bukan dari daging hewan. Mungkin ini alasan kenapa qurban musti hewan, dan hewan yang harganya mahal.

Namanya juga qurban atau korban, tentu saja barangnya harus berharga. Kalau sesuatu yang biasa saja tentu akan tidak disebut berkorban. Seorang pria yang sedang memikat seorang gadis pasti akan memberikan apapun yang bahkan dirinya sendiri tak pernah menikmatinya, sesuatu yang sudah pasti bukan benda ecek-ecek, dan itulah berkorban. Jadi dapat dikenali sepirit qurban di sini, yaitu memberikan pada orang lain sesuatu yang terbaik. Di Al Quran dinyatakan: tak akan sampai pada kebaikan sampai seseorang memberikan sesuatu pada orang lain apa yang dicintainya.

Pada akhirnya, saya yang belum pernah berqurban harus mengakui bahwa saya belum jadi orang baik. Saya tak pernah memberikan apapun pada orang lain sesuatu yang benar-benar saya cintai, saya masih senang menyimpan dan menumpuk barang-barang bagus dan memberi orang lain sesuatu yang tidak lagi saya butuhkan. Daging yang saya berikan pada istri pun tidak benar-benar saya berikan, karena tetap jadi milik saya (ngeres). Jadi berkorban ternyata bukanlah sesuatu yang mudah.



Tidak ada komentar: