Baru beberapa
hari berlalu perayaan Hari Buku Nasional yang ke 15 (17 Mei 2017), jadi masih
terngiang dengan jelas pernyataan-pernyataan tentang masalah rendahnya minat
baca orang Indonesia. Beberapa stasiun televisi menampilkan acara yang berkaitan dengan ini termasuk
mengundang beberapa orang untuk bicara. Dan untuk mengatasi masalah itu, Presiden Jokowi mencanangkan Gerakan Nasional Gemar Membaca. Benarkah kita
bangsa yang malas membaca?
Saya sendiri
sangat suka membaca dan sejak kecil lebih sering menghabiskan uang untuk bacaan
daripada untuk jajan. Dan saya kira orang-orang di sekeliling saya pun selama
ini bukan orang-orang yang anti bacaan. Tentu saja kebanyakan dari mereka bukan
pembaca yang bisa duduk lama menyimak buku-buku tebal, tapi mereka selalu
antusias membaca ketika ada sesuatu yang menarik.
Membaca koran berisi berita sepakbola, dari orang tua sampai anak-anak
biasanya berebut.
Tentu saja
keprihatinan tentang rendahnya minat baca berkait dengan besarnya harapan para
cendekiawan kita pada ramainya pasar buku di negeri ini. Adanya keluhan tentang
rendahnya minat baca tentu saja karena buku-buku yang dijual di dalam negeri
secara umum oplahnya rendah. Andai saja masyarakat kita gemar membeli buku (melebihi
kegemaran beli gorengan), walau kemudian hanya dipajang di ruang tamu tanpa
pernah dibaca, mungkin masalah minat baca tidak dipersoalkan. Di layar televisi
seorang penulis mungkin akan berkomentar begini: hanya soal waktu, pada saatnya
buku itu akan dibacanya.
Membaca bagi
orang yang senang membaca seperti saya kalau dirasa-rasa memang berat. Apalagi kalau
yang dibaca dirasa tidak ada untungnya. Dan rasa semacam ini sepertinya sudah
muncul semenjak sekolah di tingkat dasar. Anak-anak sekolah tentu saja sudah
akrab dengan buku, tapi apakah anak-anak itu menganggap buku-buku itu sebagai
bacaan? Membaca harus menyenangkan, maka buku dengan isi yang bisa membuat
pembaca antusias menjadi penting.
Beberapa waktu
lalu saya datang ke agen maianan anak-anak, ternyata di sana ada tumpukan
bacaan ringan berupa komik dengan sedikit halaman. Komik petruk gareng yang legendaris
ternyata masih diproduksi, cuma kontennya
sekarang bisa dibilang memprihatinkan. Sepertinya banyak hal yang diproduksi
belakangan ini kualitasnya cenderung lebih buruk dari pendahulunya.
Akhirnya untuk membuat
bangsa kita gemar membaca jelas tak cukup dengan himbauan. Harus ada
kebijakan-kebijakan yang bisa mengondisikan, tapi ah… sudahlah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar