Anda yang
tinggal atau pernah menetap atau sekedar pernah jalan-jalan ke kota pasti sudah
akrab dengan yang namanya pedagang kaki lima. Pedagang yang menggelar lapak
dagangannya di kaki lima atawa trotoar itu bisa dibilang ciri dari wajah
kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta. Entah di kota-kota lain di negara-negara
sebrang. Bisa jadi ada, cuma mungkin lebih tertata dan kaki limanya sudah berubah jadi kaki sepuluh atau malah kaki
seribu.
Kaki lima adalah
istilah lain dari trotoar yang konon dulu lebarnya lima kaki (kira-kira satu
setengah meter). Di negara-negara maju, trotoar –kalau lihat di televisi—lebarnya
sudah tak lagi lima kaki, di sana trotoar bersih dan lapang yang membuat
pejalan kaki bisa merasa nyaman. Di Jakarta pada wilayah tertentu ada upaya
membangun trotoar yang lebar, bersih dan nyaman untuk jalan-jalan, termasuk
dalam proyek ini adalah penertiban pedagang kaki limanya. Tapi yang namanya pedagang kaki
lima bolak-balik digaruk tetap saja ada bahkan terus bertambah.
Ada banyak
cerita sukses yang diawali dari kaki lima, tapi yang terus jatuh bangun pun tak
sedikit. Tapi kini ketika jarak kota dan desa seakan kian dekat, pedagang kaki
lima yang dulu hanya ramai di kota kini di desa-desa pun sudah ramai pula. Apa yang
dulu hanya ada di kota, kini mudah di temui di desa-desa. Dari pedagang makanan
sampai penjual pakaian, ada. Penjual pakaian bekas sampai alat elektronik bekas
, digelar di pinggir jalan tak beda dengan di Tanah Abang. Saya menduga mereka
yang kini eksis di desa sebagai pedangang asal gelar di pinggir jalan adalah
alumni-alumni Jakarta.
Mereka bisa jadi
korban gusuran, atau orang yang pernah ikut bantu-bantu di kaki lima di kota
kemudian memilih berjualan di desa yang lebih tenang suasananya. Kalau dilihat
kebanyakan pedagang yang buka lapak di pinggir jalan di desa adalah penjual
makanan yang modelnya sama seperti yang ada di Jakarta. Ada pecel lele, nasi goreng
bahkan angkringan model Jakarta. Apalagi sekarang sedang musim orang main patok
bahu jalan. Entah siapa yang memulai, di banyak desa tepian jalan rayanya di
patok-patok kemudian diperjual belikan kepada orang yang mau buka lapak. Jadi di
desa yang belum ada trotoar atau kaki lima di sana, pedagangnya sudah banyak
mangkal siang malam di bahu jalan.
Apakah mereka
pedagang kaki lima? Tak ada kaki lima di sana, yang ada adalah pedagang yang
meninggalkan kota dan berupaya eksis di desa. Jadi bisa dibilang mereka
pedagang kaki seribu. Mereka bisa jadi karena takut digaruk Satpol PP lalu
pulang ke kampung. Maka kini, desa-desa
yang jalan rayanya beberapa tahun lalu sunyi senyap kini pada malam hari bisa
terang benderang oleh jejeran pedagang kaki seribu. Tak hanya di wilayah yang
padat penduduk, di jalan raya yang kanan-kirinya sawah pun lapak-lapak permanen
dan tak permanen berbaris memanjang.
Kiranya ada
hubungan apa pedagang kaki seribu ini dengan globalisasi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar