Senin, 11 April 2011

Pornografi: Jamu atau Sirop?

Melihat halaman koran hari ini yang Headline-nya masih seputar Sidang Pariporno saya jadi ingat cerita yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Ceritanya tentang pertanyaan seorang ABG (Anak Baru Gede) yang bapaknya berprofesi sebagai guru agama pada seorang ustadz yang bertamu ke rumahnya pada suatu malam. ABG ini menanyakan bagaimana hukumnya nonton vidio porno, yang dijawab (tentu di depan orang tua si ABG) dengan boleh bagi orang dewasa. Sesekali buat jamu, katanya. Sebuah jawaban yang kemudian direspon emosional oleh si ABG yang sepertinya telah tidak hormat pada ayahnya dengan mengatakan akan bertanya lagi kepada seorang kyai.


ABG yang saya maksud tentu sekarang sudah tidak ABG lagi, cuma saya tidak tahu apakah sikap kerasnya masih seperti dulu atau tidak tentang vidio porno. Yang jelas soal vidio porno atau apapun yang masuk kategori pornografi bagi laki-laki setahu saya adalah dunia yang akrab. Pada jaman dahulu mungkin hanya mereka yang dari keluarga kaya yang bisa dengan mudah mengaksesnya, tapi kini di jaman ketika tekhnologi sudah menjamah siapapun dari golongan apapun di masyarakat rasanya pornografi sudah jadi konsumsi siapapun.

Saya mengenal pertama kali pornografi saat SMP lewat pergaulan, tapi masih sangat terbatas dan penuh ketakutan. Tapi kini anak-anak SD gampang ditemui dalam banyak kesempatan memiliki VCD porno yang memang dijual bebas. Anak-anak kecil ini tak merasa malu membeli barang semacam itu tentu karena melihat orang dewasa bisa bebas menikmatinya. Dan dengan bisa menikmati hal semacam itu lewat perangkat seperti hape bisa dibayangkan bagaimana realitasnya kini. Maka kasus sidang pariporno kemarin itu sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa walaupun pelakunya dari sebuah partai yang menolak pornografi, menurut saya. Mengingat kenyataan yang ada.

Mungkin benar apa yang dikatakan seorang ustadz seperti yang saya ceritakan di atas, pornografi ini bisa dijadikan jamu. Tapi apakah jamu itu benar-benar hanya dikonsumsi oleh mereka yang sudah berkeluarga  (yang dianggap butuh) itu yang kemudian menjadi masalah. Apalagi kini Indonesia sudah dikenal sebagai negeri yang bebas, penganut faham libral yang lebih libral dari biangnya penganut libralisme. Maka kalau memang pornografi dianggap bermasalah, tinggal tetapkan hukuman yang berat bagi siapapun yang menjadi bagian darinya. Atau legalkan saja dan katakan bahwa ini bukan lagi jamu tapi sirop, daripada terus-terusan munafik seperti sekarang ini.


7 komentar:

Popi mengatakan...

pornografi lagi!! bosen saya dengernya.Ga anak2 ga dewasa, ga gelandangan ga anggota dewan..punya kegemaran yg sama! Moga2..Allah melindungi anak2 kita dari wabah ini!

Mulyani Adini mengatakan...

Kalau udah gini susah mau komennya apa...karna semakin hari semakin parah kalau udah lihat siaran berita.
Meskipul udah di legalkan apa bisa jamin tak akan beredar kembali..

Muhammad A Vip mengatakan...

Popi:semoga
ibudini:hehehe

attayaya-mading mengatakan...

anggota dpr ga berani netapin.
karena mereka membutruhkan juga

cus mengatakan...

legal ga legal, buktinya itu yang porno-porno masih bisa dijumpai dengan mudah di masyarakat kita. kalo disuguhin jamu sama sirop, saya milih siroplah. :p

Anonim mengatakan...

hmmmph... pornografi dibalikin aja ke individunya deh, kan udah pada dewasa, tau mana yg salah mana yg bener... Tapi mudah2an Tuhan melindungi anak2 qta dari yg beginian...

Muhammad A Vip mengatakan...

semoga anak-anak kita tak terjebak pada pola mapan ini