Selasa, 21 Juni 2011

Dia, Kamu, Saya (Kepribadian)

Ketika sedang sendiri saja rasanya saya bisa merasa bahwa saya ini adalah pribadi, sebab ketika berada di keramaian ternyata saya dapati diri saya berkeliaran begitu banyaknya. Bahkan ketika membawa cermin pun saya sulit untuk merasa beda dengan orang-orang yang ada di sekitar saya. Keseragaman di mana-mana. Model rambut, pakaian, cara bicara, gaya duduk dan berjalan kita telah ditentukan oleh entah siapa, namun yang jelas kita memang budaknya. Lalu siapa sesungguhnya saya.


Akhir pekan lalu saya menonton film dokumenter berbahasa Jerman di Goethe Haus yang rasanya menarik untuk perenungan tentang saya atau tentang keperibadian, Neukolln Unlimited. Di film produksi tahun 2010 itu diceritakan tiga bersaudara Hasan (18), Lial (19) dan Maradona (14) –imigran asal Libanon—yang tinggal di Neukolln, Berlin bersama ibu dan adik balita mereka. Mereka bertiga adalah anak-anak berbakat yang menekuni tari dan musik Hip-hop dan berprestasi. Gaya hidup mereka tentu saja khas sekali, tak beda dengan gaya anak-anak Hip-hop di Amerika. Tapi menariknya adalah ketika mereka kembali ke rumah mereka tetap anak-anak menyenangkan yang akrab dengan ibunya dan selalu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, seperti mencuci piring, memasak dan mengurus adik kecilnya. Lial yang cewek pun tak larut dalam pergaulannya, pakaiannya tetap sopan.

Mereka hidup dengan kesibukan mengejar mimpi mereka tapi tetap peduli dengan keluarga.  Sesuatu yang menghadirkan rasa iri kemudian malu, mengingat saya yang tak jelas prestasinya dulu saat masih sekolah sering merasa gengsi melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah atau membantu orang tua dan lebih sering berlaku seperti superstar.  Walau sebenarnya bukan cuma saya, teman-teman sekolah saya atau tetangga banyak yang sering membuat orang tuanya marah karena sering menolak ketika disuruh-suruh. Makan masih dijatah, uang sekolah masih ditanggung tapi seakan sudah mampu mengurus diri sendiri. Tentu saja alasannya malu kalau dilihat teman.

Gaya hidup saat ini yang dipengaruhi oleh media global memang telah membuat kita –sadar atau tidak sadar—menganggap rendah budaya sendiri dan meninggalkannya. Kita yang konon memiliki budaya luhur kini seperti sulit mengenali keluhuran itu. Laku hidup yang tampak kini seperti sulit untuk dijelaskan, sebenarnya pola macam apa yang berlaku.  Ada sesuatu yang mengagetkan saat menonton Neukolln Unlimited kemarin, yaitu ketika adegan Maradona –mereka keluarga muslim--mengerjakan sholat, banyak penonton yang tertawa menyaksikan adegan itu. Saya merasa yakin, bahwa yang tertawa pasti yang beragama Islam.  Sebagaimana kita semua tahu, anak muda muslim sekarang  di Indonesia banyak yang tidak lagi sholat karena krisis kepribadian.

Pergaulan memang membuat kita sering mengingkari kenyataan. Hilang kepribadian karena terlalu kagum pada sesuatu yang ada di sana. Berdandan seperti pesohor padahal tak kemana-mana—hanya hidup di kampung sendiri. Haruskah menjadi imigran ke luar negeri untuk kembali mengamalkan adat istiadat orang tua dan berpribadi?

17 komentar:

Nuel Lubis, Author "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" mengatakan...

nih film lama/baru?

Muhammad A Vip mengatakan...

tahun 2010 bro

Nuel Lubis, Author "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" mengatakan...

ada yang jual ga yah versi bajakannya? hehee

Muhammad A Vip mengatakan...

kayaknya gak ada. ini film dokumenter, coba aja ke Goethe Haus, diperpustakaannya siapa tahu ada.

horizonwatcher mengatakan...

iya, orang Indonesia terutama banyak latah dengan budaya luar, sebagiannya karena pengaruh arus derasnya informasi luar di era globalisasi

Mulyani Adini mengatakan...

Sepertinya V menyukai film dokumenter ya...

Mama Calvin mengatakan...

aku kurang gaul masalah film kalau skr

Popi mengatakan...

tuh kan? suka engga lengkap infonya! ini film pasti udah ga diputar di Goethe kan? hm...

TUKANG CoLoNG mengatakan...

@Nuel, donlod aja brooo :D

pakde sulas mengatakan...

pakde jadi ingat seorang rekan kerja, dia belum sekalipun menginjakkan kakinya di jakarta, tapi logat dan aksen bicaranya layaknya orang jakarta, entah karena mau dianggap sok jakarta, atau lingkungannya berasal dari jakarta.

Tiara Putri mengatakan...

goethe haus tuh dimana ? *kasihanilah anak muda kuper ini*
waaah kayaknya ramee, ngubek mbah google deh cari link buat downloadnya *semoga ada*

catatan kecilku mengatakan...

Ceritanya bagus juga.. sebuah film yg layak utk ditonton tuh.
Aku memang bukan penikmat film.. tapi aku masih suka nonton film yg sering ditayangkan di televisi.. lumayan tak harus keluar rumah utk bisa nonton film hehehe

Rawins mengatakan...

kalo bukan pilem perang, aku jarang nonton.... tau kenapa neh otak mulai sadis kali..

attayaya-solar mengatakan...

mereka tertawa???
sungguh menyedihkan
semoga mereka diampuni Allah SWT

Muhammad A Vip mengatakan...

horizon:mungkin juga di tempat lain sama.
ibudini:?
mama calvin:wah, nonton di rumah kan bisa bu
Popi:hehehe...besok sabtu ada lagi, film asia.
Tukang colong:dicari ada mungkin
Pakde:tetangga saya juga ada yang ngomongnya pake bahasa malaysia, padahal cuma 2 tahun jadi TKI
Tiara:donlot ayo kalo ada
Rawins:halah!
ifan:di tivi juga banyak yang oke
attayaya:semoga

Robin PayTren mengatakan...

Nice post gan ! Jadi diri sendiri sesuai sikon ! Hehehe... Komen itu aja.Nice post gan ! Jadi diri sendiri sesuai sikon ! Hehehe... Komen itu aja.

Muhammad A Vip mengatakan...

hut:sip lah!