Kembali di tanggal 21 April, dan Hari Kartini
diperingati kembali. Di sekolah-sekolah khususnya, peringatan ini selalu meriah
dan jadi agenda tahunan yang ditunggu-tunggu (terutama oleh yang perempuan).
Tak aneh jika kemudian terkesan sosok pahlawan nasional perempuan itu
diistimewakan. Bahkan sang Proklamator yang hingga kini tetap banyak pemujanya
tak memiliki hari khusus seperti RA Kartini itu.
Perempuan hebat di negeri ini di masa lalu sebenarnya
banyak. Yang sama seperti RA Kartini dijadikan pahlawan dan bergerak di dunia
pendidikan kita tahu ada Dewi Sartika yang jadi nama jalan di Jakarta. Yang
tidak dianggap pahlawan tentu saja lebih banyak. Namun seperti biasa, tak semua
nama harus disebut, tentu saja dipilih yang paling mudah diingat dan yang
profilnya paling sederhana. RA Kartini yang hidup tidak lama dan punya nama
cukup keren, tentunya dianggap lebih pas dan inspiratif.
Dan tadi pagi, seperti pada tahun-tahun yang telah
lalu sekolah-sekolah pada tingkat dasar paling menarik untuk disimak gaya
memperingatinya. Di sana anak-anak gadis didandani sedemikian rupa menyerupai
orang dewasa: berkebaya mentereng dan disalonkan. Yang menyolok sudah tentu
riasan wajahnya yang bagi para orang tua bisa jadi kebanggaan—yang punya anak
cantik selalu menuai puja-puji—dan bagi orang seperti saya yang doyan nyinyir
akan jadi modal diskusi soal pengkarbitan anak-anak.
Saya saksikan tadi di jalan-jalan, gadis-gadis
kecil yang umurnya mungkin secara umum
belum sampai sepuluh tahun itu berbedak tebal-tebal dan bibirnya yang dipoles
lipstik begitu menor seusai acara tetap dibiarkan. Kebayanya tentu saja dilepas
karena mungkin sewaan, tapi make up
yang melok-melok sepertinya sayang kalau dihapus. Dengan pakaian
bermain—berbaju kaus dan bercelana pendek--
gadis-gadis kecil itu seperti sedang mengundang laki-laki dewasa agar
menilainya. Dan saya yang laki-laki dan dewasa pun telah menilainya; penampilan
dengan nilai minus seratus.
RA Kartini, akhirnya hanya dikenal oleh kebanyakan
perempuan negeri ini sebagai pelopor kebaya dan perempuan yang gemar bersolek. Maka
perlu kiranya bagi kita para blogger, mengangkat citra Kartini sebagai
perempuan muda yang gemar menuliskan hidup yang dialaminya. Dulu Kartini
menulis surat yang akhirnya jadi buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, bayangkan
andai beliau hidup di jaman ini, pastinya beliau menulis di blog. Jadi menulis
blog—khusus bagi perempuan—adalah cara mudah meneladani ibu bangsa itu yang
konon nama aslinya adalah Harum (simak:
Ibu kita Kartini, Harum namanya).
5 komentar:
anak-anak seharusnya diajari berbusana muslim bukan diajari berhias dan bersolek
banyak juga yang meniru Ibu Kartini ada juga yang sampai kebablasan.
lihat mantan putri indonesia, yang menjadi anggota dpr yang kemudian korupsi
atau yang menjadi pengusaha, mereka menjadi penyuap penegak hukum
putriku juga kemarin berkebaya ala noni jakarta. Tapi ga dandan. Bukan karena ga pengen, tapi emaknya mikir seratus kali kalo kudu sawer duit ke salon. Pagi2 pula!
abdullah: hahaha...
pakde: ngebut kali pakde, jadi kebeblasan
popi: ibunya gak suka dadan juga sih
haha iya juga ya kenapa kalau meemperingati hari kartini anak-anak harus dandan seperti itu :D
Posting Komentar