Dua
puluh tahun sudah berlalu, rasanya belum lama terjadinya beliau yang ternyata
sudah almarhum melepas jabatan yang pernah kuat-kuat didekapnya itu demi
menuruti tuntutan banyak pihak yang baginya sulit dilawan pada saat itu. Saya menonton
peristiwa ketika beliau berpidato untuk terakhir kalinya sebagai presiden dan dalam
pidatonya mengatakan “tidak jadi presiden
tidak patheken”. Beliau yang berkuasa lebih dari 30 tahun dan ditakuti oleh
bawahan-bawahannya, sepertinya akan sulit dilupakan oleh siapapun yang pernah
hidup di zaman itu.
Beberapa
hari lalu ada hasil survei yang dirilis oleh Indo Barometer (20/5/2018) yang
hasilnya menyebutkan bahwa Soeharto –beliau yang pernah jaya jadi presiden RI
dan turun karena dipaksa itu—adalah presiden Indonesia paling berhasil. Diikuti Soekarno lalu Jokowi di urutan tiga,
rasanya survei itu menjelaskan bahwa ada kenangan tentang hidup yang lebih baik
pada masa itu di benak mereka yang jadi responden survei yang pastinya mereka
mengalami hidup di sana. Saya pribadi jika harus membandingkan, pada awal dekade
90an ketika saya sekolah keadaannya memang lebih baik dari dunia sekolah saat
ini –sekolah biayanya murah dengan buku-buku bacaan disediakan oleh sekolah.
Tapi
membandingkan Soeharto dengan presiden-presiden lain dalam hal keberhasilan
tentu saja mengada-ada. Andai yang dibandingkan adalah presiden-presiden dengan
durasi kepemimpinan yang sama, hasil survei itu layak didiskusikan, tapi 32
tahun rezim Soeharto dibandingkan dengan empat tahun kepemimpinan Jokowi pasti
menggelikan. Walau ada menariknya, dengan Jokowi berada di urutan ke tiga
mengundang pendapat bahwa presiden kita sekarang itulah yang terbaik
sebagaimana dikatakan Budiman Sudjatmiko.
Dalam
kenangan, saya pernah menganggap Soeharto sebagai orang hebat yang bakal masuk surga
karena telah berhasil membangun negeri ini, tapi kenyataan menunjukkan bahwa
beliau dihujat banyak orang dan dipaksa turun takhta. Sekarang banyak orang
mengagung-agungkan Jokowi dan Prabowo –dua orang yang pernah dan masih bersaing
jadi orang nomor satu negeri ini— mungkin pula para pengagung itu pada suatu hari nanti
terkaget-kaget ketika mengetahui bahwa ternyata ada banyak hal tersembunyi di
balik yang tampak. Semoga kita bisa terus mampu membaca peristiwa.
Manusia
punya kelebihan dan kekurangan, punya sisi baik dan buruk, adalah bijak jika
kita bisa menempatkan dua sisi berlawanan itu secara wajar. Saya pun ingin
diperlakukan dengan adil oleh orang lain, maka saya berusaha tidak tergesa-gesa
menilai orang lain. Begitu saja dan selamat menunggu waktu sahur.
3 komentar:
sek enak jamanku to??
itu tulisan di belakang truk
memang hidup di jaman Pak Harto lebih enak
hahahaha
Kalau kata nenek saya, memang enak jaman Soeharto. Aman dan murah. Iya aman, pada dibungkam. Ehe.
Posting Komentar