Kamis, 06 September 2018

MATI LAMPU DAN INGAT MASA LALU


Mati lampu atau aliran listrik PLN padam baru saja terjadi di tempat kami, tepatnya tadi selepas sholat Isya dan kembali menyala sekira pukul setengah sepuluh. Padam mendadak membuat kalang kabut beberapa orang, terutama tetangga rumah yang sedang akan menyelenggarakan tahlilan. Untungnya listrik mati sebelum ascara tahlil berlangsung, tapi tetap saja karena tidak siap dengan datangnya bencana kegelapan sampai menjelang pukul delapan suasana tempat tahlilan masih gelap gulita.  Tahlilan sepi karena orang-orang jadi malas keluar rumah dan saya membayangkan masa lalu ketika belum ada PLN.


Adanya PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan listrik merambah pelosok desa memang menggembirakan. Kini setelah listrik telah lama menjadi bagian dari kehidupan warga, banyak kemudahan-kemudahan dalam menjalani kehidupan. Menonton televisi tak perlu pergi dari rumah sendiri dan nongkrong di rumah orang yang mampu menghidupkan tivi. Mesin cuci kini hampir ada di tiap-tiap rumah dan menyalakan lampu tinggal pencet saklar tanpa harus repot mengisi minyak dan memantik api. Tapi apakah kita akan terus tergantung pada PLN –perusahan negara—yang menurut berita selalu rugi? Tak mungkinkah warga berswadaya membuat daya listrik sehingga tak kalangkabut ketika tiba-tiba ada gardu listrik rusak mendadak atau PLN bangkrut dan pegawainya alih profesi jadi pedagang lilin.

Menyaksikan suasana kampung tanpa listrik saya jadi ingat zaman kanak-kanak. Dulu saya mengalami masa tak ada listrik hingga menjelang lulus sekolah dasar. Walau tak ada listrik, seingat saya kami—manusia jaman old—tetap eksis dan gembira. Siang malam di sekitar rumah saya selalu ramai, orang tua duduk di teras rumah ngorol diterangi lampu teplok dan anak-anak bermain-main di halaman. Anak-anak zaman dulu justru pada malam hari berisiknya, mereka setelah sholat Maghrib biasanya pergi mengaji yang tempatnya lumayan jauh, dan saya rasakan walau perginya kadang bawa obor bambu justru senang melakukannya karena penuh petualangan. Pada malam purnama kami lebih bergembira.

Kids Jaman Now selepas maghrib kebanyakan diam di rumah di depan layar tivi karena mereka mengaji pada siang hari sesudah sekolah pagi. Malam kini terang benderang, tapi anak-anak bermain di luar rumah justru dimarahi orang tua dan orang-orang tua duduk di luar rumah bercengkrama sudah sulit ditemui. Bahkan ketika ada kesempatan duduk bersama seperti pada acara tahlilan orang-orang sekarang terkesan enggan berkumpul, biasanya pada acara kumpul-kumpul seperti tahlil orang-orang datang ketika acara dimulai dan buru-buru pulang seakan hidupnya dipenuhi kesibukan.

Kehidupan memang ada masanya. Dulu orang senang berkumpul karena dengan berkumpul bisa mendapat nilai-nilai kehidupan. Kini bisa jadi lebih mudah mendapat nilai-nilai penting kehidupan tanpa perlu bantuan tetangga karena ada listrik yang membantu memudahkan orang menjalani hidup, sehingga kebutuhan pada tetangga sudah tak sekuat pada masa lalu. Yang pasti listrik telah mengubah banyak hal, salah satu perubahannya adalah mengubah saya dari kanak-kanak menjadi tua dan beruban.

2 komentar:

Putu Eka Jalan Jalan mengatakan...

Iya sekarang kehidupan tanpa listrik benar benar lumpuh sepertinya. Kita sudah ketergantungan sama listrik sekarang

Muhammad A Vip mengatakan...

demikian ya mas?