Dua puluh tiga tahun lalu. Sama harinya,
sama tanggal dan bulannya, beda tahunnya. Dan beda pula keadaannya. Waktu itu
saya tinggal di Jakarta, tepatnya di Jakarta Timur kira-kira dua ratus meter ke
arah timur dari Terminal Kampung Melayu. Waktu itu Indonesia dipimpin oleh
Presiden Soeharto dengan wakilnya Tri Sutrisno. Sekarang saya di Brebes, 300
kilo meter lebih dari tempat itu, dengan Presiden Indonesia bernama Joko Widodo
dan dua orang wakil bernama Jusuf Kala dan Ma’ruf Amin. Anda tahu untuk apa
saya menulis ini?
Saya sendiri tidak tahu untuk apa
saya menulis begini ini, jadi tak perlu anda mencari tahu atau berusaha untuk
tahu. Yang saya tahu dua puluh tiga tahun lalu itu pada hari Sabtu tanggal 27
Juli 1996 kurang lebih tiga kilometer dari tempat sehari-hari saya nongkrong
terjadi peristiwa yang sangat mungkin akan dianggap sebagai bagian penting dari
sejarah negeri ini. Peristiwa penuh amarah, politik berdarah-darah, massa yang
tumpah di jalanan membuang resah, ah… tragedi rebutan kantor oleh dua kubu
dalam satu partai politik.
Peristiwa rebutan kantor yang
tepatnya ada di Jl. Diponegoro 58 Menteng Jakarta Pusat itu
berlangsung pagi hari dengan kemenangan ada pada pihak yang merebut, tapi
kemenangan itu ternyata berbuntut kerusuhan yang meluas pada siang hingga sore harinya. Kantor partai itu
memang mampu dikuasai meski dengan kondisi berantakan, tapi banyak kantor yang
tak ada sangkut pautnya dengan partai itu justru hancur dan terbakar. Dari Kampung
Melayu, berdiri di tepi jalan baru terusan dari Jalan Casablanca pada sore hari
di Sabtu kelabu itu sambil mendengar celoteh ini dan itu saya pandangi asap
hitam mengepul dari arah utara: Gedung Departemen Pertanian di Salemba dibakar.
Kerusuhan berdarah duapuluh tujuh
Juli, pada akhirnya disebut KUDATULI, menurut berita tadi siang di peringati oleh
beberapa orang yang menganggap apa yang terjadi duapuluh tiga tahun lalu itu
belum jelas ujungnya. Entah harus bagaimana peristiwa memilukan itu bisa
dianggap tuntas, mereka yang tewas tak pernah disebut-sebut sebagai pahlawan
oleh kelompoknya, yang dinyatakan hilang apakah masih terus dicari
keberadaannya dan dalangnya yang sering disebut penguasa pada masa itu pun
sudah lama tiada. Sepertinya penguasa sekarang, yang ternyata adalah pihak yang
dianiaya pada masa itu, harus bersikap dengan membuat pernyataan yang jelas.
Peristiwa Kudatuli adalah wujud kotor politik yang harus terus sama-sama
kita ingat, sesuatu yang tak layak ada di negeri ini. Mari bersama-sama kita
berjuang untuk tidak mengulanginya. Pastnya ini merupakan beban berat bagi yang
merasa jadi korban dan teraniaya, tapi kita bangsa besar, maka sudah selayaknya
berhati besar. Berat rasanya melupakan karena semuanya masih jelas di pelupuk
mata, sulit pastinya untuk mengikhlaskan, tapi kepentingan bangsa dan negara
jelas lebih utama dari sekedar pelampiasan rasa dendam.
Presiden Joko Widodo didampingi Ibu
Megawati mewakili partainya membuat pernyataan seperti itu dan disiarkan di televisi
nasional malam ini, andai itu terjadi ah… duapuluh tiga tahun lalu pada Minggu
malam saya berlari-lari dari arah Senen ke Kampung Melayu mengikuti hardikan
tentara yang bertebaran di Jalan Salemba Raya yang gelap, yang teringat waktu
itu adalah adegan dalam film Janur Kuning ketika tentara Belanda dengan
iring-iringan kendaraan menguasai kota Yogyakarta.
Saya masih ingat kala itu meski tidak
semuanya. Selamat malam.
1 komentar:
pokoknya jngan ada dendam
Posting Komentar