Minggu, 28 Juli 2019

KUDATULI ? SAYA TAHU !


Dua puluh tiga tahun lalu. Sama harinya, sama tanggal dan bulannya, beda tahunnya. Dan beda pula keadaannya. Waktu itu saya tinggal di Jakarta, tepatnya di Jakarta Timur kira-kira dua ratus meter ke arah timur dari Terminal Kampung Melayu. Waktu itu Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto dengan wakilnya Tri Sutrisno. Sekarang saya di Brebes, 300 kilo meter lebih dari tempat itu, dengan Presiden Indonesia bernama Joko Widodo dan dua orang wakil bernama Jusuf Kala dan Ma’ruf Amin. Anda tahu untuk apa saya menulis ini?


Saya sendiri tidak tahu untuk apa saya menulis begini ini, jadi tak perlu anda mencari tahu atau berusaha untuk tahu. Yang saya tahu dua puluh tiga tahun lalu itu pada hari Sabtu tanggal 27 Juli 1996 kurang lebih tiga kilometer dari tempat sehari-hari saya nongkrong terjadi peristiwa yang sangat mungkin akan dianggap sebagai bagian penting dari sejarah negeri ini. Peristiwa penuh amarah, politik berdarah-darah, massa yang tumpah di jalanan membuang resah, ah… tragedi rebutan kantor oleh dua kubu dalam satu partai politik.

Peristiwa rebutan kantor yang tepatnya ada di  Jl. Diponegoro 58 Menteng Jakarta Pusat itu berlangsung pagi hari dengan kemenangan ada pada pihak yang merebut, tapi kemenangan itu ternyata berbuntut kerusuhan yang meluas pada siang hingga sore harinya. Kantor partai itu memang mampu dikuasai meski dengan kondisi berantakan, tapi banyak kantor yang tak ada sangkut pautnya dengan partai itu justru hancur dan terbakar. Dari Kampung Melayu, berdiri di tepi jalan baru terusan dari Jalan Casablanca pada sore hari di Sabtu kelabu itu sambil mendengar celoteh ini dan itu saya pandangi asap hitam mengepul dari arah utara: Gedung Departemen Pertanian di Salemba dibakar.

Kerusuhan berdarah duapuluh tujuh Juli, pada akhirnya disebut KUDATULI, menurut berita tadi siang di peringati oleh beberapa orang yang menganggap apa yang terjadi duapuluh tiga tahun lalu itu belum jelas ujungnya. Entah harus bagaimana peristiwa memilukan itu bisa dianggap tuntas, mereka yang tewas tak pernah disebut-sebut sebagai pahlawan oleh kelompoknya, yang dinyatakan hilang apakah masih terus dicari keberadaannya dan dalangnya yang sering disebut penguasa pada masa itu pun sudah lama tiada. Sepertinya penguasa sekarang, yang ternyata adalah pihak yang dianiaya pada masa itu, harus bersikap dengan membuat pernyataan yang jelas.

Peristiwa Kudatuli adalah wujud kotor politik yang harus terus sama-sama kita ingat, sesuatu yang tak layak ada di negeri ini. Mari bersama-sama kita berjuang untuk tidak mengulanginya. Pastnya ini merupakan beban berat bagi yang merasa jadi korban dan teraniaya, tapi kita bangsa besar, maka sudah selayaknya berhati besar. Berat rasanya melupakan karena semuanya masih jelas di pelupuk mata, sulit pastinya untuk mengikhlaskan, tapi kepentingan bangsa dan negara jelas lebih utama dari sekedar pelampiasan rasa dendam.

Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Megawati mewakili partainya membuat pernyataan seperti itu dan disiarkan di televisi nasional malam ini, andai itu terjadi ah… duapuluh tiga tahun lalu pada Minggu malam saya berlari-lari dari arah Senen ke Kampung Melayu mengikuti hardikan tentara yang bertebaran di Jalan Salemba Raya yang gelap, yang teringat waktu itu adalah adegan dalam film Janur Kuning ketika tentara Belanda dengan iring-iringan kendaraan menguasai kota Yogyakarta.

Saya masih ingat kala itu meski tidak semuanya. Selamat malam.


1 komentar:

Saleho mengatakan...

pokoknya jngan ada dendam