Belakangan berita gempa bumi terus
muncul, dari Lombok, Palu dan kini Situbondo. Jelas bikin prihatin, tapi dari rentetan bencana itu ada sesuatu
yang sangat menarik dan semestinya jadi renungan kita bersama. Sesuatu itu adalah apa yang disebut dengan
Likuifaksi yang menyertai gempa Palu-Donggala. Entah sudah berapa sering fenomena
alam satu ini terjadi di bumi Indonesia, bagi saya pribadi ini yang pertama.
Pertama saya mengetahui peristiwanya dan istilahnya. Sesuatu yang tak pernah
saya bayangkan sebelumnya ada kejadian semacam itu.
gambar: asal comot
Tanah yang padat di musim kemarau
tiba-tiba menjadi cair, bergerak memindahkan yang ada di permukaannya bahkan
menenggelamkannya ke bumi. Ada ladang
jagung menggantikan perumahan dan jalan raya, lalu sebuah desa berpindah sampai
lebih dari dua kilometer. Ribuan rumah diperkirakan amblas ke dalam tanah dan
entah berapa ribu nyawa yang ikut serta. Di mana sajakah kengerian seperti ini
bisa terjadi di bumi ini? Mungkinkah tanah yang kini kita tempati –yang selama
ini aman-aman saja— terkena likuifaksi ini?
Di daerah tempat tinggal saya bisa
dibilang daerah aman bencana. Menurut hitung-hitungan Tsunami tak mungkin
menimpa desa saya karena jauh dari pantai (apalagi pantainya Laut Jawa).
Sepanjang hidup saya, mengalami gempa bumi pun bisa dihitung jari, itu pun
gempa kecil yang tidak semua orang merasakannya saat terjadi. Dan jauh pula dari gunung apalagi gunung
berapi. Jadi selama ini saya dan tetangga-tetangga lebih sering jadi penonton
dan komentator bencana-bencana.
Namun setelah mengetahui apa yang
baru saja terjadi di Sulawesi, saya jadi membayangkan peristiwa itu menimpa
kami suatu hari nanti. Di beberapa tempat di sini saya ketahui ada tanah yang
labil, yang sering bergerak dan mengubah struktur bangunan di atasnya.
Misalnya ada jalan raya yang tanahnya selalu amblas sehingga aspalnya jarang
mulus. Bahkan ketika sudah dibeton,
pernah tanahnya longsor sehingga lempengan betonnya mengambang karena tanahnya
amblas. Akhirnya betonnya dihancurkan untuk diganti yang baru. Cerita yang
sering saya dengar, di bawah jalan itu ada penunggunya: seekor ular naga,
ketika jalan retak-retak berarti si penunggu sedang menggeliat, begitulah warga
memaknainya.
Apapun bisa terjadi di manapun dan
kapanpun. Siapa menyangka akan ada lumpur menyembur dari dalam bumi yang sampai
menenggelamkan rumah-rumah warga Sidoarjo? Palu yang konon sudah sering
diterjang Tsunami, untuk kejadian terakhir di zaman tekhnologi canggih, siapa pula
yang sudah memprediksi hal itu akan terulang. Mengingat banyak bangunan—candi
dan sejenisnya—ditemukan terpendam di dalam bumi negeri ini, harus diakui di
negeri ini bencana alam besar sering terjadi.
Para ahli akhir-akhir ini banyak
bicara soal mitigasi. Kalau saya hanya bisa bilang, siap-siaplah karena bisa
jadi sang bencana sedang menghampiri. Laahaula
walaaquwata illa billah
3 komentar:
Semoga kita semua selalu dilindungi Allah...
Nathalia: amiin
Laa hawla walaa quwwata. Mungkin Tuhan mau tes seberapa tahan banting kita percaya sama Dia :')
Posting Komentar