Sabtu, 08 Desember 2018

MENANTI JATAH HUJAN




Saya kira seperti itu keadaannya. Saya atau kami di desa kami pada bulan terakhir tahun ini masih merasakan musim penghujan belum tiba. Pada bulan yang biasanya hujan sedang rutin turun harian, sekarang kami masih bisa terus menikmati langit biru bersih pada siang hari. Mendung sudah sering datang (pada sore hari biasanya) dan menurunkan gerimis bahkan hujan yang lumayan deras, tapi hujan atau gerimis hanya berlangsung dalam hitungan menit dan suasana kembali terang benderang.

Sering pula hujan turun sampai menimbulkan genangan di desa sebelah, sedangkan di tempat kami orang-orang tetap menggerutu setelah dengan sungguh-sungguh mengamati atap rumah yang mungkin butuh dibenahi. Minggu lalu saya dalam perjalanan dengan sepeda motor kehujanan di jalan tanpa membawa jas hujan, kira-kira lima ratus meter menerobos hujan saya berhenti di warung pinggir jalan yang sepi demi tidak basah kuyup. Dari berteduh sendiri sampai jadi sesak hujan berlangsung tidak kecil tidak besar—saya merasa akan berlangsung lama, padahal sedang buru-buru—yang membuat gelisah dan duduk tidak nyaman. Sampai kemudian dari hasil ngobrol dengan peneduh yang datang belakangan, saya simpulkan hujan hanya ada di tempat saya berteduh dalam rentang satu kilo meter dan saya ada di tengahnya. Dan dugaan saya benar setelah ambil keputusan meninggalkan tempat berteduh yang sudah tidak nyaman karena sesak.

Hujan tidak merata. Jatah hujan ada yang lebih ada yang kurang. Begitu kenyataannya saat ini, apalagi dengan menyimak berita ada daerah yang kebanjiran di tempat jauh, di tempat saya sumur banyak yang sulit keluar air. Sungai beberapa pekan lalu ada yang saya lihat banjir dengan air keruh, tapi kembali kering beberapa hari kemudian. Sungai di desa sebelah dua hari lalu juga tampak luber, entah mengapa sungai yang melewati desa kami masih tetap dengan tumpukan sampah.

Ketika jalan raya sudah dibeton, dan gang-gang dilapisi aspal dan halus, halaman rumah tak lagi tampak tanah, yang berarti tak akan ada lagi becek dan lumpur, hujan malah tak mau turun pada waktunya. Apa malaikat pengatur hujan tersinggung dan marah dengan ulah kami yang seakan menganggap hujan adalah masalah dan hanya butuh air yang menggembirakan saja? Tanah becek dikeluhakan, sungai dangkal terus ditimbuni sampah harian, saluran air di sawah tak dibenahi karena pengairan mengandalkan air tanah, adalah wajar kalau Tuhan menganggap kami di sini tak menghendaki lagi musim hujan. Duh Gusti!

Semoga saja apa yang terjadi ini bisa membuat kami sadar diri, bahwa bencana bisa datang dalam banyak bentuk, tak cuma gempa dan tsunami. Semoga, kami masih bisa mawas diri dengan jatah yang bisa dinikmati.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

bener banget, tetap selalu hati-hati dan waspada... Jangan lupa untuk selalu bersyukur dan berdoa kepada yang Esa...

Himawan Sant mengatakan...

Oya di Brebes belum turun hujan maksimal, mas ?.
Kok bisa begitu ya ..., dikotaku nyaris tiap sore selalu hujan sudah 2 bulan ini.

Memang sih jika dilihat, perubahan siklus curah hujan tahun ini telat lama dari bulan-bulan biasanya di beberapa tahun lalu.
Entah pengaruh apa sebenarnya.

Kudoakan daerah mas cepat dapat berkah curah hujan agar tidak kekeringan berkepanjangan.

Tanza Erlambang - Speed Up mengatakan...

cuaca sudah berubah di mana mana. Salju terkadang ada di musim panas.
Siip kata katanya...indah